BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam bidang ilmu sosiologi,
antropologi, dan sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan dengan
naturalism dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad
ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia
dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada
sedikit perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu alam karena masyarakat dan
kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan, demikian juga alam.
Untuk memetakan pemikiran positivisme,
alangkah baiknya menyajikan perjalanan hidup seorang Auguste Comte dan
pemikirannya yang telah memberikan pengaruh besar dalam ilmu sosial.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
sejarah perjalanan hidup Auguste Comte?
2.
Bagaimana
pemikiran positivisme menurut Auguste Comte?
3.
Bagaimana
metafisika emplisit dalam positivisme?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
sejarah perjalanan hidup Auguste Comte.
2.
Memahami
pemikiran positivisme Auguste Comte.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Singkat Auguste Comte
Auguste Comte
adalah figure yang paling representative untuk positivisme sehingga di dijuluki
sebagai Bapak Positivisme. Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie
Auguste Francois Xavier Comte, dilahirkan di Montpellier, Prancis Selatan pada
17 Januari 1798. Ia berasal dari keuarga Katolik dan berdarah bangsawan. Akan
tetapi ia tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Ia sempat mengenyam
pendidikan di Ecole Polytechnique, Paris, dan hidup di Paris cukup lama.[1]
Setelah dua tahun di Paris dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideology,
tetapi juga Hume dan Condorcet. Saint Simon menerimanya sebagai sekertarisnya,
dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint Simon memengaruhi perkembangan
intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat
bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia
dan masyarakatnya. Pada tahun 1826 Comte sudah menemukan proyek filosofinya
sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Yang kemudian dia
memisahkan diri dari Saint Simon karena adanya perbedaan dalam beberapa hal.
Dia juga sempat sakit keras dan perkawinannya gagal. Bahkan dia sempat mencoba
bunuh diri, tetapi gagal. Adikaryanya yang paling termasyhur adalah Course
of Positive Philosophy (Cours de philosopshie
positive) dalam 6 jilid. Dalam tulisan-tulisannya dia mengusahakan sebuah
sintesis segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivism, tetapi usaha itu
tidak rampung, sebab pada tanggal 5 September 1857 dia meninggal dunia di
Paris. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang didirikannya
Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus positivism, yakni imam
agung kemanusiaan.[2]
B.
Pemikiran
tentang Positivisme
1.
Istilah
“Positivisme”
Istilah
“positivisme” diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata
“positif”. Positivism menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui
fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivism yakni
metafisika. Penolakan metafisika ini bersifat definitive (tetap/tidak sementara).
Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain seperti etika, teologi, seni,
yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang factual.
Satu-satunya bentuk pengetahuan yang shahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu
pengetahuan. Yang dianggap pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang
bersifat lahiriyah yang bisa diuji dengan inderawi.
2.
Perkembangan
Sejarah Manusia melalui Tiga Tahap
Dalam Cours
de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam
tidak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat
manusia dari abad ke abad.Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap
yang ia sebut sebagai “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif”.
Ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia
sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte juga bersesuaian dengan
tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja,
ke masa dewasa.[3]
1.
Tahap Teologis
Dalam tahap ini, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab
terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam
kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Zaman ini dibagi menjadi tiga sub bagian. Pada
sub-tahap yang paling primitive dan kekanak-kanakan, yaitu tahap fetisisme atau
animism (manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa, berkehendak,
berhasrat. Pada tahap berikutnya yakni politeisme (kekuatan-kekuatan alam
diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa). Akhirnya, pada tahap monoteisme di mana
dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang disebut Allah.
2.
Tahap Metafisis
Dalam tahap ini, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya
seperti seorang remaja pada masa remajanya. Kekutan adimanusiawi dalam tahap
sebelumnya diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Tidak ada lagi Allah
dan dewa-dewa, yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.
3.
Akhirnya, umat
manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif.
Pada zaman ini
umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta yang teramati.
Pikiran hanya memusatkan diri pada factual yang sebenarnya bekerja menurut
hukum-hukum umum.
Dengan
demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat,
diukur, dan dibuktikan kebenarannya. Karena agama -maksudnya Tuhan- tidak dapat
dilihat, diukur, dan dibuktikan, agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu
dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan sesuai dengan fakta. Ukuran
ini dalam epistemology disebut dengan teori korespondensi, yaitu suatu
pernyataan dinyatakan benar apabila cocok dengan fakta empiris. Sebaliknya,
suatu pernyataan dianggap salah bila tidak sesuai dengan data empiris.[4]
3.
Klasifikasi
Ilmu Pengetahuan
Menurut Comte,
semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan factual, dan karena
kenyataan factual itu berebeda-beda, harus ada perbedaan sudut pandang dari
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan.
Untuk menetapkan ilmu-ilmu khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang
bersifat fundamental. Artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang
bersifat terapan. Dalam adikaryanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu
fundamental yang saling berkaitan satu sama lain, yakni :matematika, astronomi,
fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (sosiologi).
Secara
historis, sosiologi adalah ilmu pengetahuan terakhir yang muncul. Karena muncul
dalam tahap positif, sosiologi sudah bersih dari macam-macam kepercayaan
teologis dan filosofis. Dia menjadi ilmu otonom yang paling matang dalam
menjelaskan realitas. Secara metodologis, sosiologi juga berada di puncak sebab
ia menyelidiki manusia dalam kehidupan sosialnya beserta aneka kebutuhannya.
Selanjutnya Comte membagi sosiologi menjadi dua, yaitu: statika sosial dan
dinamika sosial. Statika sosial mempelajari tatanan sosial itu dengan segala
hukum yang mengaturnya. Sedangkan dinamika sosial mempelajari hukum-hukum
perubahan dan kemajuan sosial. Dengan mengetahui tatanan (statika sosial),
sosiologi dapat mengarahkan perkembangan masyarakat ke sebuah susunan yang
lebih baik (dinamika sosial).[5]
4.
Agama
Kemanusiaan atau Agama Positivistis
Masyarakat
positif Comte pada gilirannya menjadi masyarakat agama baru dan memang Comte
sendiri terang-terangan ingin mendirikan agama baru yang disebutnya “agama
kemanusiaan” atau “agama positivistis”. Dalam agama baru itu, moralitas
tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah abad
pertengahan diganti dengan “le Grand Etre” (Ada Agung), yakni
Kemanusiaan. Dia bahkan juga menyusun sebuah kalender untuk merayakan “para
santo Kemanusiaan”, membayangkan tempat-tempat ibadah, patung-patung,
sakramen-sakramen sosial, dan seterusnya. Semua ini paralel dengan unsur-unsur
ritual agama Katolik.
C.
Metafisika
Implisit dalam Positivisme
Dari filsafat
Comte ini dapat disaksikan sebuah gejala yang ganjil dari pikiran manusia.
Pertama-tama kita menyaksikan bahwa metode positivistis memang ampuh untuk
menghancurkan metafisika dan teologi tradisional. Dengan mengklaim bahwa
pengetahuan yang benar itu hanya mengenai yang factual, positivisme seolah-olah
sudah menumbangkan metafisika. Akan tetapi kalau diperiksa lebih jauh, akan
kelihatan bahwa klaim pengetahuan yang benar hanyalah mengenai yang factual
pada gilirannya akan menjadi radikal dalam klaim bahwa kenyataan itu adalah
yang factual. Radikalisasi macam ini memang tampak dalam rekonstruksi historis
Comte, bahwa tahap positive merupakan tahap paling final untuk memahami
kenyataan. Kenyataan adalah yang factual. Dengan klaim implisit ini Comte
sebenarnya melakukan sebuah metafisika implisit mengenai yang factual. Klaim
implisit itu lalu malah menjadi lebih jelas lagi dalam ajaran agama
positivistisnya tentang “le Grand Etre”. Istilah bagi Allah baru ini
adalah sebuah abstraksi atas manusia-manusia individual, lalu seluruh realitas.
Kalau tidak sedang berteologi, sekurang-kurangnya dengan ajaran ini Comte
diam-diam bermetafisika. Jadi, dia surut kembali ke tahap metafisika yang
dikritiknya sendiri.[6]
Dalam beberapa
aspek, positivisme memiliki hal-hal yang baik untuk kehidupan umat manusia.
Sebab, positivisme menyuguhkan suatu metode ilmiah dan ukuran-ukuran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara empiris. Dalam hal ini, positivisme menyumbangkan
gagasan baru dalam kemajuan sains dan teknologi. Dalam aspek lain, positivisme
mempersempit alam pada hal-hal yang terukur, tidak mau melihat alam yang luas
dan besar. Bahkan kesenangan rohani atau penderitaan rohani dianggap sebagai
sesuatu yang tidak berarti. Padahal kesenangan dan penderitaan -meskipun tidak
dapat diukur dengan tepat- dialami oleh semua orang hingga penganut
positivisme.Positivisme terlalu meredukasi kemampuan akal pada hal-hal yang
dapat diuji secara empiris. Padahal daya akal tidak hanya bergantung pada
pengujian secara empiris. Akal mampu merekayasa sesuatu yang belum pernah
dilihatnya. Oleh karena itu, positivisme sebenarnya harus mengakui hal yang
demikian sebagai suatu realitas. Dengan demikian, kepercayaan kepada Tuhan
berarti tidak mustahil karena daya akal mampu mencapai realitas di balik dunia
empiris.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Positivisme merupakan salah satu cabang dari filsafat modern yang
dipopulerkan oleh Auguste Comte. Positivisme menegaskan bahwa pengetahuan
hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang
ditolak positivisme yakni metafisika. Penolakan metafisika ini bersifat
definitive (tetap/tidak sementara). Pemikiran yang dikembangkan Comte di antaranya
perkembangan sejarah manusia melalui tiga tahap, klasifikasi ilmu pengetahuan,
dan agama positivistis.
B.
Saran
Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah
kita mengetahui tentang sejarah perjalanan hidup Auguste Comte dan pemikirannya mengenai positivisme di
atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan kita
bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh agar
bermanfaat bagi orang lain dan khususnya
untuk diri kita sendiri.
[1]Wahyu
Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, hal.138
[2]F.Budi
Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli
sampai
Nietzsche), hal 176
Nietzsche), hal 176
[4]Dedi Supriyadi,
M.Ag. dan Drs. Mustofa Hasan, M.Ag., Filsafat Agama, hal.133
[5]F.Budi
Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli
sampai
Nietzsche), hal
Nietzsche), hal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar