Sabtu, 04 Juni 2016

positivisme

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG          
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan dengan naturalism dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu alam karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan, demikian juga alam.
Untuk memetakan pemikiran positivisme, alangkah baiknya menyajikan perjalanan hidup seorang Auguste Comte dan pemikirannya yang telah memberikan pengaruh besar dalam ilmu sosial.        

B.     RUMUSAN MASALAH     
1.      Bagaimana sejarah perjalanan hidup Auguste Comte?    
2.      Bagaimana pemikiran positivisme menurut Auguste Comte?     
3.      Bagaimana metafisika emplisit dalam positivisme?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui sejarah perjalanan hidup Auguste Comte.
2.      Memahami pemikiran positivisme Auguste Comte.        








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat Auguste Comte
Auguste Comte adalah figure yang paling representative untuk positivisme sehingga di dijuluki sebagai Bapak Positivisme. Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, dilahirkan di Montpellier, Prancis Selatan pada 17 Januari 1798. Ia berasal dari keuarga Katolik dan berdarah bangsawan. Akan tetapi ia tidak terlalu peduli dengan kebangsawanannya. Ia sempat mengenyam pendidikan di Ecole Polytechnique, Paris, dan hidup di Paris cukup lama.[1] Setelah dua tahun di Paris dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideology, tetapi juga Hume dan Condorcet. Saint Simon menerimanya sebagai sekertarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint Simon memengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826 Comte sudah menemukan proyek filosofinya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Yang kemudian dia memisahkan diri dari Saint Simon karena adanya perbedaan dalam beberapa hal. Dia juga sempat sakit keras dan perkawinannya gagal. Bahkan dia sempat mencoba bunuh diri, tetapi gagal. Adikaryanya yang paling termasyhur adalah Course of Positive Philosophy (Cours  de philosopshie positive) dalam 6 jilid. Dalam tulisan-tulisannya dia mengusahakan sebuah sintesis segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivism, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab pada tanggal 5 September 1857 dia meninggal dunia di Paris. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang didirikannya Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus positivism, yakni imam agung kemanusiaan.[2]
B.     Pemikiran tentang Positivisme
1.      Istilah “Positivisme”
Istilah “positivisme” diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Positivism menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivism yakni metafisika. Penolakan metafisika ini bersifat definitive (tetap/tidak sementara). Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain seperti etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang factual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang shahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan. Yang dianggap pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriyah yang bisa diuji dengan inderawi.
2.      Perkembangan Sejarah Manusia melalui Tiga Tahap
Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tidak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad.Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut sebagai “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif”. Ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa dewasa.[3]
1.      Tahap Teologis
Dalam tahap ini, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Zaman ini dibagi menjadi tiga sub bagian. Pada sub-tahap yang paling primitive dan kekanak-kanakan, yaitu tahap fetisisme atau animism (manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa, berkehendak, berhasrat. Pada tahap berikutnya yakni politeisme (kekuatan-kekuatan alam diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa). Akhirnya, pada tahap monoteisme di mana dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang disebut Allah.
2.      Tahap Metafisis
Dalam tahap ini, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti seorang remaja pada masa remajanya. Kekutan adimanusiawi dalam tahap sebelumnya diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Tidak ada lagi Allah dan dewa-dewa, yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.
3.      Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif.
Pada zaman ini umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada factual yang sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum.
Dengan demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dan dibuktikan kebenarannya. Karena agama -maksudnya Tuhan- tidak dapat dilihat, diukur, dan dibuktikan, agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan sesuai dengan fakta. Ukuran ini dalam epistemology disebut dengan teori korespondensi, yaitu suatu pernyataan dinyatakan benar apabila cocok dengan fakta empiris. Sebaliknya, suatu pernyataan dianggap salah bila tidak sesuai dengan data empiris.[4]
3.      Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan factual, dan karena kenyataan factual itu berebeda-beda, harus ada perbedaan sudut pandang dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan. Untuk menetapkan ilmu-ilmu khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang bersifat fundamental. Artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan. Dalam adikaryanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu fundamental yang saling berkaitan satu sama lain, yakni :matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (sosiologi).
Secara historis, sosiologi adalah ilmu pengetahuan terakhir yang muncul. Karena muncul dalam tahap positif, sosiologi sudah bersih dari macam-macam kepercayaan teologis dan filosofis. Dia menjadi ilmu otonom yang paling matang dalam menjelaskan realitas. Secara metodologis, sosiologi juga berada di puncak sebab ia menyelidiki manusia dalam kehidupan sosialnya beserta aneka kebutuhannya. Selanjutnya Comte membagi sosiologi menjadi dua, yaitu: statika sosial dan dinamika sosial. Statika sosial mempelajari tatanan sosial itu dengan segala hukum yang mengaturnya. Sedangkan dinamika sosial mempelajari hukum-hukum perubahan dan kemajuan sosial. Dengan mengetahui tatanan (statika sosial), sosiologi dapat mengarahkan perkembangan masyarakat ke sebuah susunan yang lebih baik (dinamika sosial).[5]
4.      Agama Kemanusiaan atau Agama Positivistis
Masyarakat positif Comte pada gilirannya menjadi masyarakat agama baru dan memang Comte sendiri terang-terangan ingin mendirikan agama baru yang disebutnya “agama kemanusiaan” atau “agama positivistis”. Dalam agama baru itu, moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah abad pertengahan diganti dengan “le Grand Etre” (Ada Agung), yakni Kemanusiaan. Dia bahkan juga menyusun sebuah kalender untuk merayakan “para santo Kemanusiaan”, membayangkan tempat-tempat ibadah, patung-patung, sakramen-sakramen sosial, dan seterusnya. Semua ini paralel dengan unsur-unsur ritual agama Katolik.
C.    Metafisika Implisit dalam Positivisme
Dari filsafat Comte ini dapat disaksikan sebuah gejala yang ganjil dari pikiran manusia. Pertama-tama kita menyaksikan bahwa metode positivistis memang ampuh untuk menghancurkan metafisika dan teologi tradisional. Dengan mengklaim bahwa pengetahuan yang benar itu hanya mengenai yang factual, positivisme seolah-olah sudah menumbangkan metafisika. Akan tetapi kalau diperiksa lebih jauh, akan kelihatan bahwa klaim pengetahuan yang benar hanyalah mengenai yang factual pada gilirannya akan menjadi radikal dalam klaim bahwa kenyataan itu adalah yang factual. Radikalisasi macam ini memang tampak dalam rekonstruksi historis Comte, bahwa tahap positive merupakan tahap paling final untuk memahami kenyataan. Kenyataan adalah yang factual. Dengan klaim implisit ini Comte sebenarnya melakukan sebuah metafisika implisit mengenai yang factual. Klaim implisit itu lalu malah menjadi lebih jelas lagi dalam ajaran agama positivistisnya tentang “le Grand Etre”. Istilah bagi Allah baru ini adalah sebuah abstraksi atas manusia-manusia individual, lalu seluruh realitas. Kalau tidak sedang berteologi, sekurang-kurangnya dengan ajaran ini Comte diam-diam bermetafisika. Jadi, dia surut kembali ke tahap metafisika yang dikritiknya sendiri.[6]
Dalam beberapa aspek, positivisme memiliki hal-hal yang baik untuk kehidupan umat manusia. Sebab, positivisme menyuguhkan suatu metode ilmiah dan ukuran-ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris. Dalam hal ini, positivisme menyumbangkan gagasan baru dalam kemajuan sains dan teknologi. Dalam aspek lain, positivisme mempersempit alam pada hal-hal yang terukur, tidak mau melihat alam yang luas dan besar. Bahkan kesenangan rohani atau penderitaan rohani dianggap sebagai sesuatu yang tidak berarti. Padahal kesenangan dan penderitaan -meskipun tidak dapat diukur dengan tepat- dialami oleh semua orang hingga penganut positivisme.Positivisme terlalu meredukasi kemampuan akal pada hal-hal yang dapat diuji secara empiris. Padahal daya akal tidak hanya bergantung pada pengujian secara empiris. Akal mampu merekayasa sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Oleh karena itu, positivisme sebenarnya harus mengakui hal yang demikian sebagai suatu realitas. Dengan demikian, kepercayaan kepada Tuhan berarti tidak mustahil karena daya akal mampu mencapai realitas di balik dunia empiris.[7]

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Positivisme merupakan salah satu cabang dari filsafat modern yang dipopulerkan oleh Auguste Comte. Positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme yakni metafisika. Penolakan metafisika ini bersifat definitive (tetap/tidak sementara). Pemikiran yang dikembangkan Comte di antaranya perkembangan sejarah manusia melalui tiga tahap, klasifikasi ilmu pengetahuan, dan agama positivistis.

B.     Saran
Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena itu  kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah kita mengetahui tentang sejarah perjalanan hidup Auguste Comte dan pemikirannya mengenai positivisme di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh agar bermanfaat bagi orang lain dan khususnya  untuk diri kita sendiri.




[1]Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, hal.138
[2]F.Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai
  Nietzsche), hal 176
[3]Ibid, hal.178
[4]Dedi Supriyadi, M.Ag. dan Drs. Mustofa Hasan, M.Ag., Filsafat Agama, hal.133
[5]F.Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai
  Nietzsche), hal
[6]Ibid, hal.183
[7]Dedi Supriyadi, M.Ag. dan Drs. Mustofa Hasan, M.Ag., Filsafat Agama, hal.135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar