Sabtu, 04 Juni 2016

bani umayyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kajian tentang sejarah peradaban Islam tidak terlepas dari keberadaan sebuah Dinasti, yakni Dinasti Bani Umaiyah yang berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (41- 132/661-750). Dinasti ini didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan Ibn Harb Ibnu Umayyah melalui peristiwa tahkim ketika pecahnya perang Siffin di Daumatul Jandal.Kehadiran Dinasti Umayyah telah memberi warna baru dalam sejarah pemerintahan Islam dengan sistim pemerintahan yang sangat berbeda dengan sistim yang diterapkan pada pemerintahan Islam pada masa-masa sebelumnya, baik pada masa Rasulallah SAW maupun pada masa Khulafaurrasyidin . Sistim pemerintahan yang baru ini mendapat banyak sorotan dan ketidak puasan dikalangan masyarakat Islam pada umumnya.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang sejarah peradaban Islam Bani Umayyah, akan dijelaskan dalam makalah ini mulai dari sejarah berdirinya, bentuk pemerintahan, kebijakan dan orientasi politik, sistim yang didirikan, perkembangan intelektual dan pembangunan, hingga masa kemunduran Bani Umayyah.     

B.     RUMUSAN MASALAH           
1.      Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Bani Umayyah ?
2.      Apa bentuk pemerintahan Dinasti Bani Umayyah ?
3.      Bagaimana terjadinya peristiwa Karbala?
4.      Bagaimana kebijakan pemerintahan dan orientasi politik pada masa Dinasti Bani Umayyah ?
5.      Bagaimana sistim keuangandan peradilan Dinasti Bani Umayyah ?
6.      Apa yang menjadi sebab kemunduran Dinasti Bani Umayyah ?       

C.     TUJUAN
1.      Mengetahui sejarah dan perkembangan Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah.
2.      Mempelajari sistim politik dan kebijakan yang dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
3.      Mengkaji lebih dalam peradaban Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Nama “ Daulah Umayyah “  berasal dari nama “Umaiyah ibnu Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf” yaitusalah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah. Umaiyah ini senantiasa bersaingan dengan pamannya, Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya.
      Sesudah datang agama Islam berubahlah hubungan antara Bani Umayyah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, oleh karena persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi berubah sifatnya menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umayyah dengan tegas menentang Rasulullah dan usaha-usaha beliau untuk mengembangkan Agama Islam. Sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah. Dengan adanya perang Badar dan pasukan penolong dari Makkah, membuat Bani Abdi Syams memiliki banyak pengikut. Ketika itu tampaklah dengan jelas, kekuasaan dan keangkuhan berada dalam tangan keluarga ini, yang sebagai suatu cabang dari cabang-cabang suku Quraisy itu.  
      Bani Umaiyah barulah masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu masuk ke kota Makkah.
      Silsilah keturunan ini menunjukkan hubungan antar Bani Hasyim dan Bani Abdi Syams. Abdu Manaf adalah nenek yang paling atas bagi dinasti-dinasti Islam yang memegang pemerintahan pada abad-abad permulaan. Dengan demikian teranglah bahwa Bani Umayyah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam dan merupakan musuh-musuh yang paling keras terhadap agama ini pada masa-masa sebelum mereka memasukinya. Tetapi setelah masuk Islam, mereka dengan segera dapatmemperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingannya, seolah-olah mereka ingin mengimbangi keterlambatan mereka dengan berbuat jasa-jasa yang besar terhadap agama Islam.
      Bani Umayyah pada hakikatnya dari semula telah menginginkan jabatan Khalifah, akantetapi mereka belum mempunyai harapan untuk mencapai cita-cita tersebut pada masa Abu Bakar dan Umar. Setelah Umar kena tikam, dan ia menyerahkan permusyawaratan untuk memilih Khalifah yang baru kepada enam orang sahabat, di antaranya adalah Usman. Di waktu itulah baru muncul harapan besar bagi Bani Umayyah kemudian mereka menyokong pencalonan Usman secara terang-terangan, dan akhirnya Usman terpilih. Semenjak itu mulailah bani Umayyah meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan “Khilafah Umayyah”, sehingga dikatakan bahwa Khilafah Umayyah itu pada hakekatnya telah mulai berdiri sejak pengangkatan Usman menjadi Khalifah. Dan di masa pemerintahan Usman inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam untuk dapat menjadi pusat kekuasaan Islam di masa mendatang.[1]
      Setelah meninggalnya khalifah Usman, Muawiyah belum bisa menggantikan kekhalifahannya secara langsung karena Ali berhasil membuat dirinya terpilih sebagai khalifah pengganti Usman. Dan pada masa pemerintahan ini, Muawiyah menolak mengakui Ali sebagai khalifah dan mengaku jabatan itu bagi dirinya yang mewakili Bani Umayyah. Selain itu dia juga memperbanyak mencari dukungan dari pihak lain agar bisa memperkuat pertahanannya dan meruntuhkan kekuasaan Ali.
Setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali untuk menjadi khalifah namun Hasan memang kurang berminat untuk menjadi khalifah. Karena itu setelah beberapa bulan Hasan berkuasa, Muawiyah meminta agar jabatan khalifah diberikan kepadanya, kemudian Hasanmenyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Muawiyah dengan beberapa syarat dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Usman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah amul jama’ah atau tahun persatuan umat Islam.[2]           
      Setelah terjadi kesepakatan antara Hasan bin Ali as dengan Muawiyah  bin Abi Sufyan pada 41 H/661 M, maka secara resmi Muawiyah diangkat menjadi Khalifah oleh umat Islam secara umum. Pusat pemerintahan Islam di pindahkan oleh Muawiyah dari kota Madinah ke Damaskus.[3] Sejak saat itulah kekuasaan Daulah Bani Umayyah mulai berkembang.      
B.     Bentuk Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Pemerintahan yang semula bersifat demokratis, pada kekuasaan Bani Umayyah berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Mu’awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Kebajikan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipengaruhi oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama dikuasai oleh Muawiyah semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umur Ibn Khatab di Suriah. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.[4]       
            Atas perubahan bentuk pemerintahan dari demokrasi ke monarchi, muncul gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya dan kemudian penduduk dipaksa untuk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair.[5]
C.    Terjadinya Peristiwa Karbala
Pada masa kepemimpinan Bani Umayyah terjadi pergantian bentuk pemerintahan dari demokratis menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Atas perubahan bentuk pemerintahan ini, muncul gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak.[6]
Saat itu, penduduk Irak yang didominasi oleh pengikut Ali Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada Husain meminta beliau pindah ke Kufah. Mereka berjanji akan membai'at Husain sebagai khalifah karena mereka tidak menginginkan Yazîd bin Muâwiyah menduduki jabatan khalifah. Tidak cukup dengan surat, mereka terkadang mendatangi Husain di Mekkah mengajak beliau berangkat ke Kufah dan berjanji akan menyediakan pasukan. Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma kerap kali menasehati Husain agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena ayah Husain, Ali bin Abi Thalib, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas khawatir mereka membunuh Husain juga disana. Husain mengatakan, "Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat kesana".
              Sebagian riwayat menyatakan bahwa Husain mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang sepupunya, Muslim bin 'Aqil yang telah dibunuh di sana. Akhirnya, berangkatlah Husain bersama keluarga dan sahabat menuju Kufah. Sesampainya Husain di Karbala, diriwayatkan bahwa ketika beliau tiba di padang ini kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku, kendati beliau sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakinya. Karena itu, Husain nampak mulai curiga sehingga bertanya: “Apakah nama daerah ini?” Orang-orang menjawab: “Qadisiah.” “Adakah nama lain?”, tanya Imam lagi.“Shati' Al-Furat.” “Selain itu ada nama lain lagi?”“Karbala...”
              Mendengar jawaban terakhir ini Husain segera berucap: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan malapetaka.” Husain lalu berseru kepada para pengikutnya: “Kita berhenti disini, karena di sinilah akhir perjalanan kita, di sinilah tempat tumpahnya darah kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan.”             
              Di tanah itu, Ummu Kaltsum adik Husain berkeluh kesah kepada beliau. “Padang sahara terlihat menyeramkan, aku tiba-tiba dicekam ketakutan yang amat besar.” Husain menjawab: “Adikku, dalam perjalanan untuk Perang Siffin, bersama ayahanda kami pernah berhenti di sini. Di sini ayah merebahkan kepalanya ke pangkuan kakakku, Hasan, kemudian tertidur. Aku juga kebetulan ada di sisinya. Begitu terjaga, ayah tiba-tiba menangis sehingga kakakku bertanya mengapa ayah menangis.“ Ayah menjawab: 'Aku bermimpi sahara ini berubah menjadi lautan darah dan Husain tenggelam ke dalamnya sambil berteriak-teriak meminta pertolongan tetapi tak seorangpun mengindahkan teriakannya.' Ayah kemudian bertanya kepadaku: 'Bagaimanakah kalian jika seandainya ini terjadi.' Aku menjawab: 'Tidak ada jalan lain, aku akan sabar.'”      
              Husain kemudian berkata: “Sesungguhnya Bani Umayyah telah mencemarkan nama baikku, tetapi aku bersabar. Mereka merampas harta bendaku, aku juga bersabar. Mereka kemudian menuntut darahku, tetapi juga tetap sabar. Demi Allah, mereka akan membunuhku sehingga Allah akan menimpakan kepada mereka kehinaan yang amat sangat dan akan menghujam kepada mereka pedang yang amat tajam.”
              Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad mendapat laporan bahwa Husain berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid. Ubaidillah mengancam Husain pasti akan mati jika tetap menolak memberikan baiat. Husain membaca surat itu kemudian melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir Ubaidillah bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar laporan sang kurir tentang sikap Husain ini. Dipanggilnya Umar bin Sa'ad, orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota Rey. “Cepat pergi!” Seru Ubaidillah kepada Umar. “Habisi Husain, setelah itu datanglah kemari lalu pergilah ke Rey untuk menjabat di sana selama 10 tahun.”   
              Umar bin Sa'ad meminta waktu satu hari untuk berpikir, dan Ubaidillah pun memberinya kesempatan itu. Umar kemudian berunding dengan teman-temannya. Dia disarankan supaya tidak menerima tugas untuk membunuh cucu Rasul itu. Namun, saran itu tidak meluluhkan hatinya yang sudah dilumuri ambisi untuk bertahta. Maka, dengan memimpin 4.000 pasukan dia bergerak menuju Karbala. Begitu tiba di Karbala, mulai adegan-agedan penganiayaan terjadi terhadap Husain beserta rombongannya. Umar bin Sa'ad bahkan tak segan-segan mencegah mereka untuk mendapatkan seteguk air minum.
Umar memerintahkan seseorang bernama Azrah bin Qais. “Cepat datangi Husain, dan tanyakan kepadanya untuk apa datang kemari” kata Umar. Azrah kebingungan dan malu karena dia termasuk orang yang mengirim surat kepada Husain supaya beliau datang ke Kufah. Umar bin Sa'ad kemudian menyuruh beberapa orang lain untuk bertanya seperti itu, tetapi tak ada satupun diantara mereka yang bersedia. Mereka keberatan karena mereka juga seperti Azrah bin Qais, ikut mengundang Husain tetapi malah berada di barisan pasukan yang memusuhi beliau.             
              Diriwayatkan bahwa Barir bin Khudair meminta izin Imam Husain as untuk berbicara dengan Umar bin Sa'ad mengenai penggunaan air sungai ElFrat. Beliau mengizinkannya dan Barir pun pergi mendatangi Umar bin Sa'ad. Di depan Bin Sa'ad Barir langsung duduk tanpa mengucapkan salam. Karena itu Umar bin Sa'ad langsung naik pitam. “Kenapa kamu tidak mengucapkan salam kepadaku? Bukankah aku ini seorang muslim yang mengenal Allah dan rasul-Nya?”, tegur Ibnu Sa'ad geram. “Kalau kamu memang seorang Muslim,” jawab Barir, “kamu tentu tidak akan keluar untuk memerangi keluarga nabimu, Muhammad bin Abdullah, untuk membunuh mereka, untuk menawan para anggota keluarga mereka. Di saat orang-orang Yahudi dan Nasrani bisa menikmati air sungai ElFrat, Husain putera Fatimah beserta keluarga dan sahabatnya justru terancam maut akibat kehausan karena kamu mencegah mereka meneguk air sungai tersebut, tetapi di saat yang sama kamu mengaku mengenal Allah dan rasul-Nya.”      
              Peperangan semakin memanas, sampai akhirnya terbunuhlah Husain sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid. Kepalanya dipenggal lalu dibawa ke hadapan Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu diletakkan di bejana. Lalu Ubaidullah yang durhaka ini kemudian menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husain, padahal di situ ada Anas bin Mâlik, Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami. Anas mengatakan, "Singkirkan pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium mulut itu!" Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, "Seandainya saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti kepalamu saya penggal." Alangkah tinggi rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu Rasulullah Shallallahu 'alahi wa sallam, orang kesayangan beliau dihinakan di depan mata mereka. Kemudian kepalanya tersebut dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.

D.    Kebijakan Pemerintahan dan Orientasi Politik pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Kebijakan pemerintah Bani Umayyah tidaklah sedikit. Banyak sekali upaya-upaya yang dilakukan untuk menyebarluaskan agama Islam di berbagai negara, baik dengan cara perdamaian ataupun peperangan. Selain itu, banyak pula kebijakan yang dilakukan untuk menstabilkan kondisi rakyatnya, baik dari segi ekonomi, politik maupun yang lainnya. Di antara kebijakan yang telah dilakukan dalam masa pemerintahan Bani Umayyah adalah :
  1. Pemindahan pusat pemerintahan       
                Pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus dilakukan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang menjadi khalifah pertama Dinasti Bani Umayyah. Hal ini dilakukannya karena kurang adanya dukungan dan pengikut yang fanatik sehingga dapat mengganggu stabilitas kekuatannya. Sedangkan di Damaskus pengaruh kekuatannya cukup kuat karena sebelumnya Muawiyah pernah menjadi gubernur di daerah ini.[7]
  2. Pergantian sistim pemerintahan         
                Muawiyah mengganti sistim kekhalifahan menjadi sistim kerajaan. Hal ini disebabkan dengan diberlakukannya perubahan kepada sistim dinasti memberikan pengertian bahwa pemerintahan akan bersifat monarchi, yang pergantian pemimpin dilakukan berdasarkan garis keturunan, dan bukan atas dasar demokrasi sebagaimana yang terjadi di zaman sebelumnya.[8]
  3. Pemisahan kekuasaan 
                Pemisahan kekuasaan terjadi antara kekuasaan agama (spiritual power), dengan kekuasaan politik (timporer power). Sebelumnya pada masa Khalifah Rasidin belum terjadi pemisahan antara kekuasaan politik dan kekuasaa agama. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Muawiyah dapat dipahami karena Muawiyah sebagai penguasa pertama bukanlah orang yang ahli dalam bidang keagamaan, sehingga masalah keagamaan tersebut diserahkan kepada ulama. Oleh karena itu dikota-kota besar dibentuk para qhadi/hakim, pada umumnya para hakim menghukum sesuai dengan ijtihadnya yang sesuai dengan landasan Al-Qur’an dan Hadits.
  4. Penggabungan Wilayah         
                Provinsi yang semula berjumlah delapan buah dapat diminimalisir menjadi lima buah. Adapun belanja setiap daerah dibebankan kepada daerah masing-masing yang diperoleh dari berbagai sumber yang termasuk pajak dan surplus keuangan daerah dikirimkan ke pusat.[9]      Muawiyah membagi daerah Mamlakah Islamiyah menjadi lima wilayah besar yaitu:1).   Hijaz, Yaman dan Nejid (perdalaman daerah Jazirah Arabia)2). Irak, Arab (negeri-negeri Babilon Asyrura Lama)3).   Mesir dan Sudan   
    4).  Afrika Utara, Lybia, Andalusia, Sicilia, dan Sidinia4). Armenia, Asia Kecil     
  5. Pembentukan dan pengembangan bidang administrasi pemerintah dan organisasi negara, di antaranya adalah :
a.       Diwan ar-Rasailwa al-Kitabah     
      Diistilahkan dengan sekertaris jenderal yang berfungsi untuk menangani berbagai surat dari berbagai wilayah Islam atau surat khalifah kepada para pejabat di daerah.
b.      Diwan al-Kharraj 
      Diwan ini beroperasi disektor pengambilan pajak dan keuangan. Dibentuk pada setiap provinsi yang dikepalai Shahib Al-Kharaj yang diangkat oleh Khalifah dan bertanggung jawab kepadanya.
c.       Diwan al-Jund
      Diwan ini bertugas untuk mengurusi ketentaraan. Di kota-kota besar didirikan markas komando dan setiap markas dilengkapi dengan barak-barak asrama, dan di pusat-pusat militer dibangun pula gedung logistik kemiliteran.[10]
d.      Diwan al-Barid    
      Disebut juga dengan Badan Intelejen Negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Kepala dewan ini memberikan informasi tentang tingkah laku para gubernur di daerah atau hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah. Pada masa pemerintahan Abdul Malik, berkembang menjadi departemen pos khusus urusan pemerintah. Dengan demikian kerjanya semakin luas,
e.       Diwan al-Khatam 
      Dewan Al-Khatam (Depertemen Pencatatan), pertama didirikan oleh Muawiyah. Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Khalifah harus disalin dalam satu regester, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju.
f.       Politik Arabisasi
      Pada masa pemerintahan Bani Umayyah (sejak khalifah Abdul Malik bin Marwan) berkembang istilah arabisasi usaha-usaha penggarapan oleh Bani Umayyah diwilayah-wilayah yang dikuasai Islam. Termasuk disini pengangkatan pengajaran bahasa Arab, penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab.[11]
g.      Shurthah (Kepolisian)
      Pada mulanya organisasi kepolisian menjadi bagian dari organisasi kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai kepala al- Hudud. Tidak lama kemudian, maka organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kerajaan.
h.      Jabatan wazir dan petugas protokoler
Wazir bertugas untuk membantu khalifah dalam melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan protokoler bertugas untuk mengawal serta menyeleksi tamu yang akan berurusan dengan khalifah.
6.      Perluasan daerah kekuasaan atau ekspansi ke negara lain
            Kejayaan Dinasti Umayyah ditandai dengan capaian ekspansinya yang sangat luas. Langkah ekspansi ini menunjukkan stabilitas politikUmayyah yang cukup mapan. Ekspansi ini merupakan kelanjutan dan perluasan dari apa yang telah dicapai pada masa Khulafah al-Rasyidin. Pada masa itu sempat terhenti disebabkan konflik dan kekacauan di kalangan umat Islam.[12]
a)      Perluasan ke Wilayah Barat
            Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokko dapat di tundukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya dan dengan cepat dapat dikuasai. Di zaman Umar ibn Abd al-Aziz, serangan dilakukan melalui pegunungan Piranee yang dipimpin oleh Abu Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours al-Ghafiqi terbunuh dan tentaranya kembali ke Spanyol. Di samping daerah-daerah di atas, pulau-pulau yang terdapat di Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah.[13]        
           
b)      Perluasan ke Wilayah Timur
            Ke arah timur, Muawiyaah dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari Afganistan sampai ke Kabul (674 M). Ekspansi ke timur ini diteruskan pada zaman Abd al-Malik dibawah pimpinan al-Hajaj Ibn Yusuf. Tentara yang dikirimnya menyeberagi sungai Oxus, kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara, Khawariz, Firghana dan Samarkand. Selanjutnya pasukan muslim juga sampai di India dan serta dapat menguasai Bulukhistan, Sind, daerah Punjab sampai ke Multan (713 M).
7.      Pengembangan dalam bidang ekonomi
Pada masa pemerintahan Umayyah berada di tangan khalifah Abdul Malik ibn Marwan, lebih kurang dua belas tahun, kondisi dinasti Umayyah inilah relative stabil.[14] Hal ini justru karena mendapat dukungan dari al-Hajjaj, seorang panglima penakluk Mekkah yang bertangan besi. Perkembangannya ditandai dengan meningkatnya anggaran pemerintahan untuk berbagai macam pekerjaan umum, di antaranya adalah pembangunan prasarana dan masjid-masjid di berbagai propinsi. Selain itu juga terjadi pembangunan beberapa irigasi, meningkatnya industri kulit dan tenun yang cukup bagus.
Setelah pemerintahan Abdul Malik berakhir maka digantikan oleh putranya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik, di mana masa ini dipandang sebagai puncak kejayaan Dinasti Umayyah. Di antara langkah yang dilakukan Walid  ialah mempergunakan sebagian kekayaan Negara untuk membenahi prasarana perkotaan dan pembangunan kesejahteraan lainnya, seperti membenahi jalan-jalan, membangun panti-panti, rumah sakit, masjid-masjiddan yang terbesar masjid Umayyah di Damaskus.

8.      Pengembangan dalam bidang peradaban, intelektual, bahasa dan sastra Arab
Pada masa Bani Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa Bani Umayyah Ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadits. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan hadits. Pengumpulan hadits dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini muncul ahli-ahli hadits seperti Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan Basri. Disamping itu muncul pula ilmu tata bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih menyusun al-Kitab untuk mempelajari bahasa Arab bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah berkembang ke luar Jazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi khalifah Abdul Malik menggerakkan politik Arabisasi.
            Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya bangsa Grek (Yunani)  yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan demikian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliyah pada maasa ini baru bertingkat permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.      

E.     Sistim Keuangan dan Peradilan Masa Dinasti Bani Umayyah
Ø  Sistim Keuangan (Fiskal)
Ada beberapa tambahan sumber uang pada zaman Dinasti Umayyah, seperti al-Dharaaib, kewajiban yang harus dibayar oleh warga Negara. Kepada penduduk dari negeri-negeri yang baru dilakukan, terutama yang baru masuk Islam ditetapkan pajak-pajaak istimewa. Saluran uang keluar, pada masa Daulah Bani Umayah pada umumnya sperti permulaan Islam. Yaitu untuk :
1.      Gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha Negara.
2.      Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan.
3.      Ongkos bagi orang-orang tawanan perang.
4.      Perlengkapan perang
5.      Hadiah-hadiah kepada para pujangga
            Pada masa Bani Umayyah, Khalifah Abdul Malik mencetak mata uang kaum muslimin secara teratur. Pembayaran diatur dengan menggunakan mata uang ini, walaupun pada masa Khalifah Umar Bin Khatab sudah dicetak mata uang, namun belum begitu teratur.[15]
Ø  Sistim Peradilan
Pada masa dinasti Bani Umayah ini pengadilan dipisahkan dengan kekuasan politik. Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu:
1.      Bahwa seorang Qadhi (Hakim) memutuskan perkara denga ijtihadnya, karena
pada masa itu belum ada “Mazhab Yang Empat” ataupun mazhab-mazhab
lainnya. Pada masa ini para Qadhi menggali hukum sendiri dari Al-Qur’an dan
Sunnah dengan berijtihad.
2.      Kehakiman belum terpengaruh dengan politik. Karena para Qadhi bebas
merdeka dengan hukumnya, tidak terpengaruh pada kehendak orang besar yang
berkuasa. Mereka bebas bertindak, dan keputusan mereka berlaku atas
penguasa dan petugas pajak.
     
F.     Sebab-sebab Kemunduran Dinasti Bani Umayyah
            Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Umayyah, antara lain :
1.      Sistem pergantian khalifah yang semula bersifat demokratis menjadi kerajaan turun-temurun.
2.      Figur khalifah yang lemah karena tidak memiliki potensi kepemimpinan dan sikap hidup mewah di lingkungan istana.
3.      Banyak terjadi pemberontakan dari berbagai golongan.
4.      Lahirnya kembali fanatisme kesukuan antara suku Arabia Utara (Bani Qoys) dan Arabia Selatan (Bani Kalb).[16]
5.      Kekecewaan sejumlah besar orang yang prihatin akan keadaan keagamaan.[17]
6.      Ketidak puasan sejumlah besar orang non-Arab  yang memeluk Islam, terutama di Irak dan propinsi-propinsi timur.
7.      Timbulnya stratifikasi sosial.
8.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib.








KHALIFAH-KHALIFAH BANI UMAIYAH

UMAIYAH
 



Harb                                                                                  Abul ‘Ash
 


 (1)     Mu’awiyah                                                      
            (41-60H)                                                        ‘Affan                   Al-Hakam

 (2)         Yazid                                                            Usman            (4)    Marwan
            (60-64H)                                                                                        (64-65H)
 


 (3)       Mu’awiyah II
                  (64H)                             Abdul ‘Aziz             (5)     Abdul Malik            Muhammad
                                                                                                     (65-86H)

                                                     (8)    Umar                                                      (14)    Marwan
`                                                         (99-101H)                                                           (127-132)


                          (6)      Al-Walid         (7)    Sulaiman        (9)   Yazid II        (10)   Hasyim
                                   
 (86-96H)                 (96-99H)                        (101-105H)             (105-125H)

                                                                                    (11)     Al-Walid II
      (12)     Yazid III         (13)     Ibrahim                              (125-126H)
                   (126H)                        (126H)

Dengan memperhatikan bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa Kekhalifahan Daulah Umawiyah ada 14 orang yang memerintah selama 91 tahun. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Mua’awiyah bin Abi Sufyan, Abd al-Malik ibn Marwan, al-Walid ibn Abdul Malik, Umar ibn Abd al-Aziz, dan Hasyim ibn Abd al-Malik
BAB III
                                                            PENUTUP


A.    Kesimpulan
            Dinasti Bani Umayyah adalah kekhalifahanIslam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari tahun661 M sampai 750 M di Jazirah Arab dan sekitarnya yangberibukota di Damaskus. Pemerintahan yang semula bersifat demokratis, pada kekuasaan Bani Umayyah berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Berbagai macam kebijakan pemerintahan dan orientasi politik dilakukan baik dalam bidang ekonomi, administrasi, peradaban, perluasan daerah, intelektual, bahasa dan sastra Arab. Akan tetapi masih terdapat kekurangan dalam kepemimpinannya, sehingga muncul gerakan-gerakan oposisi yang menentang dan berhasil menghancurkan kekuasaan dinasti ini.

B.     Saran
  Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena itu  kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah kita mengetahui tentang Sejarah Peradaban Islam Bani Umayyah di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh agar bermanfaat bagi orang lain dan khususnya  untuk diri kita sendiri.

                 



[1]  Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam, hal. 5
[2]  Prof.Dr. Imam Fu’adi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal.70
[3]http://sejarahcoy.blogspot.co.id/2013/05/pradaban-islam-pada-masa-daulah-bani.html 24-09-15 
   10.59
[4] Dr.Badri Yatim, M.A. , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II, hal.42
[5] W.Montgomery Watt, Kejayaan Islam, hal.23
[6]Dr.Badri Yatim, M.A. , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II, hal.45
[7]  Prof.Dr. Imam Fu’adi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal.71
[8]  Ibid, hal.72
[9]  Philip K. Hitti, History of the Arabs, hal.224
[10]Prof.Dr. Imam Fu’adi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal.83
[12]Prof.Dr. Imam Fu’adi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal. 74
[13]Dr.Badri Yatim, M.A. ,Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyyah II, hal. 44
[14]Ibid, hal. 44-45
[16]Prof.Dr. Imam Fu’adi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, hal. 100
[17]W.Montgomery Watt, Kejayaan Islam, hal. 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar