Sabtu, 04 Juni 2016

hamzah fansuri

MAKALAH
HAMZAH FANSURI DAN PEMIKIRANNYA
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah
Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu :
Mutrofin, M.Fil.I


Oleh:
Mutmainatul Mundiroh    (17302153003)





JURUSAN FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DA’WAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu ilmu penting yang harus dipelajari oleh seseorang. Di mana ilmu tersebut akan memberikan penyadaran pada kita untuk senantiasa mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Orang yang benar-benar menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupannya yang bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah biasa disebut dengan istilah sufi. Sering kita ketahui, bahwasannya banyak sekali tokoh-tokoh sufi besar dari Timur di antaranya Rabi’ah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, dan lain sebagainya. Masing-masing dari sufi tersebut mempunyai ajaran tasawuf yang berbeda dan berkembang pada masa yang berbeda pula. Begitu pula yang ada di Indonesia, banyak tokoh sufi terkemuka yang menganut ajaran tasawuf dari tokoh-tokoh Timur yang kemudian dikembangkannya. Akan tetapi, dalam situs sejarah tokoh sufi Indonesia, sedikit sekali bukti nyata yang benar-benar aktual membahas tentang hal tersebut. Di antara beberapa tokoh sufi besar di Indonesia adalah Syekh Siti Jenar, Syekh Hamzah Al-Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, dan lain sebagainya.
                  Dalam pembahasan Akhlak Tasawuf kali ini kami akan menyajikan materi tentang salah satu tokoh sufi Indonesia tepatnya Hamzah Al-Fansuri. Pembahasan tentang tokoh tersebut akan dijelaskan mengenai sejarah biografinya, pemikiran dan ajaran tasawufnya, serta peran dan pengaruh tokoh tersebut seiring berkembangnya zaman.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah hidup Hamzah Al-Fansuri?
2.      Bagaimana pemikiran dan ajaran tasawuf Hamzah Al-Fansuri?
3.      Bagaimana peran dan pengaruh Hamzah Al-Fansuri pada zamannya?

C.    Tujuan
1.      Mengkaji lebih dalam tentang sejarah tokoh sufi Indonesia.
2.      Mendeskripsikan tentang sejarah hidup tokoh, pemikiran dan ajaran tasawuf, serta peran dan seberapa besar pengaruh tokoh tersebut pada zamannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    BiografiHamzah Al-Fansuri
Hamzah Al-Fansuriadalahseorangpenyair yang lahirdi Barus (Fansur), Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga Al-Fansuri, keluarga yang telah turun-temurun diam di Fansur (Barus), kota pantai di Sumatera Utara. Ia diperkirakan menjadi penyair pada masa Kesultanan Aceh yang diperintah oleh sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid Al-Mukammal (1589-1604).[1] Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj yakni paham hulul, ijtihad, mahabbah dan lain sebagainya yang seirama dengan Al-Hallaj.Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Banten, Johor, Siam, India, Irak, Mekah,Madinah, dan Kudus.Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untukmencari ma’rifat Allah. Sepulang dari Kudus, ia menetap di Shahru Nawi, yaitu sebuah kampung kecil kira-kira sehari perjalanan dengan berjalan kaki dari ibu kota Aceh. Di kampung kecil dan terpencil inilah, ia merasa telah bersatu dengan Khaliq. Sebagaimana yang diungkapkan dalam syair:          
Hamzah nur asalnya Fansuri,
Mendapat wujud di tanah Shahru Nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali,
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani.[2]  
Pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, Hamzah banyak menulis kitab-kitab tasawuf sehingga  masyarakat gemar sekali terhadap ajaran tasawuf dan kemudian tasawuf dijadikan “gaya hidup” oleh masyarakat Aceh. Hamzah sendiri berpendidikan tinggi dan telah dapat mencapai tingkatan rasa bersatu dengan Khaliq. Ia telah melihat masyarakat Aceh yang menjadikan ajaran tasawuf sebagai “gaya hidup” tetapi pengetahuan mereka tentang tasawuf masih dangkal sekali. Anak-anak muda dan orang tua tiba-tiba menjadi sufi dan mereka beramai-ramai pergi ke hutan belantara untuk mencari Tuhan. Balai yang menghadap ke istana dinamakan Dar al-Kamal (rumah yang sempurna), sungai yang mengelilingi istana dinamakan Dar al-‘Ishqi (rumah untuk mabuk cinta), benteng istana disebut kota khalwat, dan kapal pesiar sultan dinamakan Mir’at al-Shafa (cermin kesucian). Melihat pengetahuan tasawuf masyarakat Aceh yang masih dangkal itulah, Hamzah menyindir dan mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hambanya-Nya daripada urat leher. Pengetahuan tasawuf Hamzah yang telah mencapai pada tingkatan ma’rifat itu, tentu tidak dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat Aceh pada umumnya. Oleh karena itu, masyarakat Aceh yang masih kolot dan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di istana memandang orang sufi setingkat Hamzah sebagai orang yang telah murtad. Dengan demikian, setelah Hamzah wafat, para pengikutnya dikejar-kejar dan dibunuh. Kitab-kitab karangannya dinyatakan terlarang dan dikumpulkan untuk dibakar. Namun, sebagian murid-muridnya berhasil menyelamatkan daripada sebagian kitab-kitab karangan Hamzah itu dan sampai sekarang masih dapat dibaca oleh masyarakat masa kini.[3]
Karya tulis Al-Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar peranan bahasa Melayu sebagai bahasa ke empat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki. Karya-karyanya tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang mengirimkan kitab-kitabnya, antara lain ke Malaka, Kedah, Sumatera Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makassar, dan Ternate.[4] Syair-syair Hamzah Al-Fansuri terkumpul dalam bukunya yang terkenal. Dalam kesusastraan Melayu atau Indonesia, tercatat buku-bukunya antara lain Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Dalam bidang prosa semua pakar sepakat mengatakan bahwa hanya tiga buah karangan Hamzah yang sampai kepada kita, yaitu Asrar al-‘Arifin (Rahasia Orang Arif), Sharab al-Ashiqin (Minuman Orang Berasmara), dan al-Muntahi (Si Penganut). Ke tiga tulisan tenang tasawuf tersebut ditandatangani oleh Hamzah. Yang ke dua mengandung pernyataan (yang kini tersohor) bahwa ditulis dalam bahasa Melayu “supaya segala hamba Allah yang tiada tahu akan bahasa Arab dan bahasa Parsi dapat membicarakan dia”.[5]
Dalam karangan penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian seperti faqir asyiq, dan lain sebagainya. Tanda serupa ini kita jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah Al-Fansuri. Di antara tanda kesufian yang banyak ditemukan di dalam syair-syairnya ialah anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti Hamzah Miskin, Hamzah Gharib, dan lain-lain. Salah satu ciri penting yang melekat pada karya-karya penyair mistik atau sufistik sejak dahulu ialah ungkapan-ungkapan yang mengandung paradoks, dalam tradisi sufi bentuk-bentuk ungkapan paradoks muncul pertama kali dalam ucapan-ucapan teofani (syathahat) Bayazid, al-Hallaj, al-Miffaru, Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Di dalam syair-syairnya Hamzah Fansuri sering menampilkan ucapan-ucapan syathahat bayazid dan al-Hallaj, dua wira sufi yang diteladaninya. Selain berfungsi memadatkan pengucapan puitik, kutipan ucapan syathahat ini memberikan suasana ekstase atau kegairahan mistik dan juga untuk mengukuhkan tafsir sufistik penyair terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits qudsi yang terdapat di dalam bait-bait sebelumnya, misalnya di dalam ikatan-ikatan yang menggambarkan pengalaman fana penyair.[6]
B.     Konsep Pemikiran Hamzah Fansuri[7]
Untuk membicarakan sekilas tentang Hamzah Fansuri dan sejarah pemikirannya, terlebih dahulu perlu dikemukakan sejarah pemikiran sufistik dari pemikiran Plato. Ada perbedaan pemikiran antara Plato dan Aristoles tentang jiwa (forma) dan badan (materia). Plato meyakini tentang adanya keabadian jiwa, sedangkan Aristoteles mengingkarinya.Pemikiran Plato di atas, selanjutnya dikembangkan oleh pemikiran Neo-Platonisme yang dipelopori Plotinus. Ia berpendapat bahwa kejadian alam semesta seisinya itu tidak diciptakan, tetapi dipancarkan oleh Dhat Yang Maha Kuasa. Semua ciptaan ada dari sesuatu yang sudah ada (pre eksis) yang disebut ide. Jadi, dari tataran Tuhan sampai dengan tataran tataran alam semesta seisinya, kejadiannya melalui pemancaran (emanasi), yaitu dari tataran Tuhan memancar ke sifat, dari sifat memancar ke ide, dan dari ide memancar ke alam semesta.
Perlu dikemukakan bahwa pemancaran yang semakin jauh dari sumbernya, yaitu Tuhan, dapat mengakibatkan semakin lemah sehingga tinggal materinya saja. Pemikiran Platonis di atas selanjutnya dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa alam semesta seisinya merupakan penampakan (manifestasi) diri al-Haqq (tajalli). Dalam penampakannnya, dari tataran Tuhan (a’yan thabitah)ke tataran alam semesta seisinya (a’yan khorijiyah) telah diakomodir di rumah Islam dengan diselingi kalimat kun fayakun (jadilah! Maka menjadilah), yaitu dari tataran Tuhan menampakkan diri ke sifat, dari sifat menampakkan diri ke ide, dari tataran ide diselingi kalimat kun fayakun, dan akhirnya menampakkan diri ke  alam semesta seisinya.
Selain pemikiran Ibnu ‘Arabi di depan, ada juga pemikiran sufistik Fadlullah al-Burhanpuri. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa Wujud (Tuhan) dipandang dari segi hakikatnya tidak dapat diungkap oleh siapapun dan tidak dapat dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Keberadaannya tanpa bentuk, ukuran, batas, bahkan lebih lembut dari itu. Maujud (alam semesta seisinya) merupakan pertunjukan dan yang dipertujukkan adalah Wujud, yaitu Tuhan. Dengan pertujukkan itulah, Wujud dapat dilihat, diungkap, dikenal, dan didekati terutama melalui diri manusia yang pusatnya di hati.
Sementara itu pemikiran sufistik Hamzah Fansuri sendiri dipandang telah terpengaruh oleh pemikiran Neo-Platonisme. Hamzah adalah seorang zahid yang mencari penyatuan dirinya dengan Khaliq. Pemikiran sufistik Hamzah Fansuri berpijak kepada hadits yang berbunyi : “ man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu,”  Barang siapa telah mengenal dirinya, maka pasti ia mengetahui Tuhannya”. Ia berpendapat bahwa Dhat dan hakikat Tuhan itu sama dengan dhat dan hakikat alam semesta seisinya (Wahdat al-Wujud).
Metode dan teknik penyampaian daripada pemikiran Hamzah dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.            Tuhan pertama-tama didudukkan pada tempat yang nyata, tetapi sebenarnya Ia tidak
nyata (la ta’ayyun). Tuhan dengan segala kebulatannya masih abadi (tidak berakhir)
dan azali (tidak berawal).
2.            Tuhan pertama-tama memanifestasikan dirinya melalui sifat, lalu keluar dan
membentangkan diri-Nya dengan sifat-Nya, seperti al-Rahman, al-Rahim, dan
lain sebagainya sehingga Ia dapat dimengerti.
3.            Tempat lembaga (yakni asma’Nya) yang akan mendapat sasaran sifat-sifat Tuhan,
yaitu yang disebut a’yan thabitah ataupun ta’ayyun thani (kenyataan yang tetap)
yang masih dalam wujud, dhat, dan hakikatNya serta masih belum berpisah (masih
dalam kandungan Tuhan).
4.            Tuhan keluar dari kandunganNya, yaitu dari a’yan thabitah ke a’yan kharijiyah
(kenyataan yang ada di luar, yaitu alam semesta seisinya). Proses keluarnya tidak
melalui penciptaan, tetapi melalui penampakan diri (tajalli).
Dari metode dan tekhnik penyampaiannya itu, lahirlah konsep Martabat Empat dan Martabat Lima yang kemudian dikembangkan oleh Shamsuddin menjadi Martabat Tujuh setelah ia mendapat pelajaran dari Fadlullah al-Barhanpuri dan Hamzah.
Definisi Wujudiah
Wujud adalah Dhat Allah yang ada dan keberadaanNya itu tanpa bentuk, ukuran, dan batasan, bahkan lebih lembut dari itu. Karena itu, Wujud  dipandang dari segi hakikatnya tidak dapat diungkap oleh siapapun dan tidak dapat dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Selain itu, Wujud juga tidak dapat dianalogikan karena akal, angan-angan, dan perasaan merupakan ciptaan baru. Sebagai ciptaan baru, ia tidak dapat dijangkau atau diungkap oleh hakikat dirinya kecuali Yang Maha Pembaharu. Siapapun yang ingin berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui dan mengungkap hakikat Wujud, maka hal itu hanya merupakan perbuatan sia-sia dan hanya menghabiskan umurnya saja.
Al-Khalq adalah ciptaan atau alam jasmani. Al-Khalq mengacu pada ciptaan yang merupakan hasil dari perintah Pencipta, “Jadilah!” (“Kun”). Istilah al-Khalq (ciptaan) sering kali digunakan sebagai lawan kata al-Haqq (Yang Maha Benar). Yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahaya Muhammad dan dari cahayanya segenap eksistensipun menjadi maujud. Nabi Muhammad SAW bersabda, “ Aku berasal dari Cahaya Allah dan seluruh dunia berasal dari cahayaku”. Ciptaan itu sendiri hanya bisa maujud melalui diriya.
Al-Ka’in (yang ada, yang jadi) menunjukkan bahwa sesuatu sudah “mempunyai eksistensi atau Wujud”  karena Allah telah mengucapkan perintah “Jadilah!” (“Kun!”) kepada sesuatu itu. Artinya, seluruh makhluk diciptakan dengan kata perintah “Kun!”  dan akan meninggalkan dunia ini manakala waktunya sudah habis. Sementara itu, mumkinul wujud merupakan sesuatu yang mungkin tidak ada (mumtani’) alam imajinasi adalah tempat segala sesuatu yang tidak mungkin ada di dalam kosmos, tetapi mungkin ada di alam pikiran manusia. Eksistensi mumkinul wujud dan mumtani’ di dunia ini bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah yang mengeluarkannnya dari pengetahuan batiniah dalam esensi pada manifestasi lahiriah dalam dunia. Adapun wajibul wujud  (keharusan wujud) adalah realitas yang tidak dapat tidak harus ada. Allah menemukan diriNya sendiri dan mustahil menemukan selain diriNya. “Penemuan” itu bergantung sepenuhnya pada kemurahan Allah kepada suatu entitas untuk menemukan Allah.
Al-Makhluq (ciptaan) merupakan ciptaan Allah yang meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Allah sendiri disebut Khaliq yang memerlukan adanya ciptaan (al-makhluq) dan ciptaan membutuhkan Penciptanya (al-Khaliq). Karena itu, kosmos haruslah ada karena hakikat-hakikat ketuhanan (Ilahi) membutuhkannya.
Selain itu kata maujud dan kata wujud merupakan dua hal yang berbeda. Maujud  adalah alam semesta isinya, termasuk manusia, merupakan pertunjukan dan yang dipertunjukkan adalah Wujud (Allah Ta’ala). Dengan pertunjukkan itulah, Wujud (Allah Ta’ala) dapat dilihat, diungkap, dikenal, dan didekati, terutama melalui diri manusia.
Hubungan manusia dengan Allah atau hubungan maujud dengan Wujud  sebagaimana yang dikemukakan di depan merupakan hubungan Tuhannya untuk mencapai kesatuan Wujud (Wahdat al-Wujud). Untuk memahami dan mengungkapkan hubungan tersebut diperlukan pendekatan tasawuf, baik secara epistimologis (melalui empat tingkatan yaitu syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat) maupun secara filosofis (melalui martabat tujuh dan melalui pemahaman Dhat, sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan-perbuatan).
Definisi Wahdat al-Wujud
Pengertian Wahdat al-Wujud terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, Wahdat al-Wujud berarti sang hamba mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah hakikat seluruh makhluq. Akan tapi. Ia tidak menyaksikan Allah Ta’ala dalam ciptaanNya. Kedua, Wahdat al-Wujud  berarti sang hamba dapat menyaksikan Allah Ta’ala melalui makhluqNya dengan kesaksian hati. Tingkatan ini lebih tinggi daipada yang pertama. Ketiga, Wahdat al-Wujud berarti sang hamba menyaksikan Allah Ta’ala pada makhlukNya dan menyaksikan makhluk pada Allah Ta’ala. Dengan demikian, keduanya tidak mempunyai perbedaan. Tingkatan ini lebih utama dan lebih tinggi daripada tingkatan yang pertama dan kedua. Selain itu, tingkatan ini merupakan tingkatan para Nabi, para wali, dan orang-orang yang mengikuti ajaran mereka. Dalam tingkatan yang ketiga ini dikemukakan bahwa semua makhluk dilihat dari segi ta’ayyunnya bukan Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Q.S. Qaf  16 : wa nahnu aqrobu ilaihi min habli al-warid, “ Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, Q.S. Hijr 28 – 29 : wa  idh qola robbuka li adama inni kholiqun basharan min solsolin min hamain masnun. Faidha sawaituhu wa nafakhtu fihi min ruhi faqo’u lahu sajidin, ” dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku (ruh ciptaanKu), maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud, hadits Nabi: Kholaqo Allahu adama ‘ala surotihi, dan hadits Nabi : idha qama ila al-solati fa innama yunaji rabbahu, fa inna rabbahu bainahu wa baina qalbihi, “Apabila seseorang salat, maka sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Allah. Jarak antara ia dengan Allah seperti ia dengan hatinya sendiri”.
Dari tiga tingkatan Wahdat al-Wujud itu, dapat dikemukakan bahwa apabila seseorang ingin sampai dan bertemu dengan AllahTa’ala hendaknya mengikuti Nabi Muhammad SAW, baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk memahami Wahdat al-Wujud. Cara untuk mendekatkan diri pada Allah Ta’ala adalah dengan menghilangkan ego yang ada pada diri masing-masing. Selain itu, ada beberapa tahapan yang harus dipahami dan diamalkan oleh para Salik agar dapat mendekatkan diri kepada AllahTa’ala dan dapat bersatu denganNya. Beberapa tahapan yang dimaksud terdiri atas tiga kelompok yang dapat dipahami dan diamalkan, baik pemahaman dan pengamalan secara epistemologis maupun secara filosofis. Ketiga kelompok yang dimaksud adalah pertama, tahapan yang terdiri dari syari’at, tarekat, hakikat, ma’rifat; kedua, tahapan Martabat Tujuh; dan ketiga, tahapan yang terdiri dari atas Dhat, sifat-sifat, asma’ (nama-nama), dan af’al (perbuatan-perbuatan).
Konsep Martabat Lima
Dhat Allah Ta’ala bernama kunhu al-dhati al-haqqi atau asal muasal Dhat Yang Maha Benar. Ahlu al-Suluk menamai kunhu al-dhati al-haqqi dinamakan la ta’ayyun (tidak nyata) disebabkan oleh ilmu dan ma’rifat para manusia, para Ahlu al-Suluk, para Wali, bahkan para Nabi, tidak akan pernah dapat menembusNya ataupun sampai kepadaNya. Walaupun kedudukan Dhat Allah pada tataran lata’ayyun (tidak nyata) atau kunhu al-dhati al-haqqi tidak dapat ditembus oleh ilmu dan makrifat manusia, Dia cinta untuk dikenal. Karena itu, Dia menciptakan alam semesta seisinya dengan maksud agar diriNya dikenal. Sebagaimana hadits berikut : kuntu kanzan makhfiyan fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu al-haqqa fabi ‘arafuni, Aku pada mulanya merupakan perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka dapat mengenal-Ku. Cinta untuk dikenal inilah yang didalam ilmu tasawuf disebut permulaan tajalli (penampakan)Tuhan. Sesudah tajalli  dilakukan, Diapun dinamakan ta’ayyun (nyata). Keadaan Tuhan di dalam ta’ayyun atau nyata ini dapat dicapai dan ditembus oleh pikiran, pengetahuan, dan makrifat manusia karena Tuhan telah menampakkan diri (tashbih) atau imanen. Ta’ayyun (nyata) dibagi ke dalam empat martabat atau sering disebut Martabat Empat.
Ø  Ta’ayyun Awwal (kenyataan yang pertama) ada empat macam, yaitu pengetahuan, Wujud, Shuhud, dan Nur. Dengan adanya Pengetahuan, dengan sendirinya Tuhan Yang Mengetahui dan yang diketahui menjadi nyata. Dengan adanya Wujud, dengan sendiri Nya Dia itu adalah Yang Mengada, Yang Mengadakan atau Yang Ada dan yang diadakan menjadi nyata. Dengan adanya Shuhud dengan sendiriNya Dia itu adalah Shahid (Yang Menyaksikan) dan Mashhud (Yang Dilihat) menjadi nyata. Dengan adanya Nur  dengan sendiriNya Dia itu adalah Yang Menerangkan dan Yang Diterangkan menjadi nyata.
Ø  Ta’ayyun Tsani, adalah Yang Diketahui, Yang Diadakan, Yang Dilihat, dan Yang Diterangkan masih dalam kandungan Allah dan disebut a’yan tsabitah (kenyataan yang tetap), yakni esensi segala sesuatu. A’yan Tsabitah atau ta’ayyun tsani  disebut juga shuwar al-‘ilmiyah (bentuk yang dikenal), haqiqot al-ashya’ (hakikat segala sesuatu di alam semesta), ruhu al-iafi (ruh yang terpaut).
Ø  Ta’ayyun Tsalits berupa ruh al-insani  (ruh manusia), ruh al-hayawani (ruh hewan), dan ruh al-nabati (ruh tumbuh-tumbuhan),
Ø  Ta’ayyun Rabi’ dan Khamis berupa penciptaan jasmani alam semesta seisinya, termasuk manusia. Penciptaan tiada berkesudahan (ila ma la nihayatan lahu) karena apabila tidak melakukan penciptaan, Tuhan tidak dapat dikenal sebagai Pencipta. Dengan demikian, terdapat lima tataran dari tajalli Tuhan, yaitu la ta’ayyun, ta’ayyun awwal, ta’ayyun tsani, ta’ayyun thalits, ta’ayyun rabi’ dan khamis ila  mala nihayata lahu. Karena itu, ajaran ini dapat dikatakan sebagai ajaran Martabat Lima.

C.    Peran dan Pengaruh Hamzah Al-Fansuri[8]
Hamzah Al-Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor bagi perkembangan kebudayaan Islam karena sumbangannya sangat besar. Di bidang keilmuan, dia telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Di bidang sastra ia juga mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Hamzah Al-Fansuri.
Di samping itu Hamzah Al-Fansuri telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruhestetika dan puitika yang diasaskan oleh Hamzah Al-Fansuri di dalam kesusasteraan Indonesia dan Melayu masih kelihatan sampai abad ke-20. Khususnya di dalam karya penyair pujangga baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah, sastrawan-sastrawan Indonesia angkatan 70-an Danarto dan Sutardi Calzoum Buchiri berada di dalam satu jalur estetik dengan Hamzah Al-Fansuri.
Di bidang kebahasaan pula, sumbangan Hamzah Al-Fansuri sukar untuk dapat diingkari apabila kita mau . Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Hamzah Al-Fansuri telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua Franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah Al-Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Hamzah Al-Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan, di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700 kata ambilan dari bahasa Arab yang bukan saja memperkaya perbendaharaan kita bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya melayu.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Hamzah Al-Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutikakeruhanian, kepiawaian Hamzah Al-Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Hamzah Al-Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri. Hamzah Al-Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
                  Hamzah Al-Fansuri adalah salah seorang sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj yakni paham wujudiyah,hulul, ijtihad, mahabbah dan lain sebagainya yang seirama dengan Al-Hallaj.Paham Wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui konsep martabat limanya bahwa ta’ayyun awwal dinamai ahad, yakni Yang Esa apabila DhatNya yang la ta’ayyun (yang tidak nyata) diasingkan daripadaNya. Apabila disertakan sifat dan ibaratNya, maka dinamakan Wahid, yakni Yang Satu, Yang Pertama. Hamzah Al-Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf, tetapi juga seorang sastrawan, perintis dan pelopor bagi perkembangan kebudayaan Islam karena sumbangannya sangat besar, berupa prosa, syair, dan lain sebagainya.

B.     Saran
      Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena itu  kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah kita mengetahui tentang pembahasan di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh agar bermanfaat bagi orang lain dan khususnya  untuk diri kita sendiri.












DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2012.
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Ed.Rev, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Batu Nisan Hamzah Fansuri, Jakarta: Ecole francaise d’Extreme-Orient bekerja sama dengan Farum Jakarta-Paris serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.




[1]Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Ilmu Tasawuf, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2012, hal.335
[2] Prof.Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, Ed.Rev, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal.341
[4]Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Ilmu Tasawuf, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2012, hal.336
[5]Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Batu Nisan Hamzah Fansuri,Jakarta: Ecole francaise d’Extreme-Orient
   bekerja sama dengan Farum Jakarta-Paris serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007, hal.12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar