MAKALAH
HAMZAH FANSURI DAN PEMIKIRANNYA
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah
Akhlak Tasawuf
Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu :
Mutrofin, M.Fil.I
Oleh:
Mutmainatul
Mundiroh (17302153003)
JURUSAN FILSAFAT AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN ADAB DAN DA’WAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu ilmu penting yang harus dipelajari
oleh seseorang. Di mana ilmu tersebut akan memberikan penyadaran pada kita
untuk senantiasa mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Orang yang benar-benar
menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupannya yang bertujuan untuk mencari
ma’rifat Allah biasa disebut dengan istilah sufi. Sering kita ketahui,
bahwasannya banyak sekali tokoh-tokoh sufi besar dari Timur di antaranya
Rabi’ah al-Adawiyah, Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, Ibnu
‘Arabi, dan lain sebagainya. Masing-masing dari sufi tersebut mempunyai ajaran
tasawuf yang berbeda dan berkembang pada masa yang berbeda pula. Begitu pula
yang ada di Indonesia, banyak tokoh sufi terkemuka yang menganut ajaran tasawuf
dari tokoh-tokoh Timur yang kemudian dikembangkannya. Akan tetapi, dalam situs
sejarah tokoh sufi Indonesia, sedikit sekali bukti nyata yang benar-benar
aktual membahas tentang hal tersebut. Di antara beberapa tokoh sufi besar di
Indonesia adalah Syekh Siti Jenar, Syekh Hamzah Al-Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,
dan lain sebagainya.
Dalam pembahasan Akhlak Tasawuf kali ini kami akan menyajikan materi tentang salah satu tokoh sufi Indonesia tepatnya Hamzah Al-Fansuri. Pembahasan tentang tokoh tersebut akan dijelaskan mengenai sejarah biografinya, pemikiran dan ajaran tasawufnya, serta peran dan pengaruh tokoh tersebut seiring berkembangnya zaman.
Dalam pembahasan Akhlak Tasawuf kali ini kami akan menyajikan materi tentang salah satu tokoh sufi Indonesia tepatnya Hamzah Al-Fansuri. Pembahasan tentang tokoh tersebut akan dijelaskan mengenai sejarah biografinya, pemikiran dan ajaran tasawufnya, serta peran dan pengaruh tokoh tersebut seiring berkembangnya zaman.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah hidup Hamzah Al-Fansuri?
2.
Bagaimana
pemikiran dan ajaran tasawuf Hamzah Al-Fansuri?
3.
Bagaimana peran
dan pengaruh Hamzah Al-Fansuri pada zamannya?
C.
Tujuan
1.
Mengkaji lebih
dalam tentang sejarah tokoh sufi Indonesia.
2.
Mendeskripsikan
tentang sejarah hidup tokoh, pemikiran dan ajaran tasawuf, serta peran dan
seberapa besar pengaruh tokoh tersebut pada zamannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BiografiHamzah
Al-Fansuri
Hamzah
Al-Fansuriadalahseorangpenyair yang lahirdi Barus (Fansur), Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga Al-Fansuri, keluarga yang telah turun-temurun
diam di Fansur (Barus), kota pantai di Sumatera Utara. Ia diperkirakan menjadi
penyair pada masa Kesultanan Aceh yang diperintah oleh sultan Alauddin Ri’ayat
Syah Sayyid Al-Mukammal (1589-1604).[1] Selain
itu, ia juga dikenal sebagai seorang sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj yakni
paham hulul, ijtihad, mahabbah dan lain sebagainya yang seirama dengan
Al-Hallaj.Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Banten, Johor, Siam, India, Irak, Mekah,Madinah, dan Kudus.Seperti sufi lainnya,
pengembaraannya bertujuan untukmencari ma’rifat Allah. Sepulang dari Kudus, ia menetap di Shahru
Nawi, yaitu sebuah kampung kecil kira-kira sehari perjalanan dengan berjalan
kaki dari ibu kota Aceh. Di kampung
kecil dan terpencil inilah, ia merasa telah bersatu dengan Khaliq. Sebagaimana
yang diungkapkan dalam syair:
Hamzah nur asalnya Fansuri,
Mendapat wujud di tanah Shahru Nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali,
Pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dan
Sultan Iskandar Muda, Hamzah banyak menulis kitab-kitab tasawuf sehingga masyarakat gemar sekali terhadap ajaran
tasawuf dan kemudian tasawuf dijadikan “gaya hidup” oleh masyarakat Aceh. Hamzah sendiri berpendidikan tinggi dan telah dapat mencapai
tingkatan rasa bersatu dengan Khaliq. Ia telah melihat masyarakat Aceh yang
menjadikan ajaran tasawuf sebagai “gaya hidup” tetapi pengetahuan mereka
tentang tasawuf masih dangkal sekali. Anak-anak muda dan orang tua tiba-tiba
menjadi sufi dan mereka beramai-ramai pergi ke hutan belantara untuk mencari
Tuhan. Balai yang menghadap ke istana dinamakan Dar al-Kamal (rumah yang
sempurna), sungai yang mengelilingi istana dinamakan Dar al-‘Ishqi (rumah
untuk mabuk cinta), benteng istana disebut kota khalwat, dan kapal pesiar
sultan dinamakan Mir’at al-Shafa (cermin kesucian). Melihat pengetahuan tasawuf masyarakat Aceh yang
masih dangkal itulah, Hamzah menyindir dan mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat
pada hambanya-Nya daripada urat leher. Pengetahuan tasawuf Hamzah yang telah
mencapai pada tingkatan ma’rifat itu, tentu tidak dapat dipahami dan dimengerti
oleh masyarakat Aceh pada umumnya. Oleh karena itu, masyarakat Aceh yang masih
kolot dan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di istana memandang orang
sufi setingkat Hamzah sebagai orang yang telah murtad. Dengan demikian, setelah
Hamzah wafat, para pengikutnya dikejar-kejar dan dibunuh. Kitab-kitab
karangannya dinyatakan terlarang dan dikumpulkan untuk dibakar. Namun, sebagian
murid-muridnya berhasil menyelamatkan daripada sebagian kitab-kitab karangan
Hamzah itu dan sampai sekarang masih dapat dibaca oleh masyarakat masa kini.[3]
Karya tulis Al-Fansuri dapat dikatakan sebagai peletak dasar peranan
bahasa Melayu sebagai bahasa ke empat di dunia Islam setelah bahasa Arab,
Persia, dan Turki. Karya-karyanya tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda
yang mengirimkan kitab-kitabnya, antara lain ke Malaka, Kedah, Sumatera Barat,
Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makassar, dan Ternate.[4]
Syair-syair Hamzah Al-Fansuri terkumpul dalam bukunya yang terkenal. Dalam
kesusastraan Melayu atau Indonesia, tercatat buku-bukunya antara lain Syair
Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan
Tongkol, dan Syair Perahu. Dalam bidang prosa semua pakar sepakat
mengatakan bahwa hanya tiga buah karangan Hamzah yang sampai kepada kita, yaitu
Asrar al-‘Arifin (Rahasia Orang Arif), Sharab al-Ashiqin (Minuman
Orang Berasmara), dan al-Muntahi (Si Penganut). Ke tiga tulisan tenang
tasawuf tersebut ditandatangani oleh Hamzah. Yang ke dua mengandung pernyataan
(yang kini tersohor) bahwa ditulis dalam bahasa Melayu “supaya segala hamba Allah
yang tiada tahu akan bahasa Arab dan bahasa Parsi dapat membicarakan dia”.[5]
Dalam karangan penyair sufi biasanya tidak
lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian seperti faqir asyiq, dan lain
sebagainya. Tanda serupa ini kita jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah
Al-Fansuri. Di antara tanda kesufian yang banyak ditemukan di dalam
syair-syairnya ialah anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani
ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti
Hamzah Miskin, Hamzah Gharib, dan lain-lain. Salah
satu ciri penting yang melekat pada karya-karya penyair mistik atau sufistik
sejak dahulu ialah ungkapan-ungkapan yang mengandung paradoks, dalam tradisi
sufi bentuk-bentuk ungkapan paradoks muncul pertama kali dalam ucapan-ucapan
teofani (syathahat) Bayazid, al-Hallaj, al-Miffaru, Ibn ‘Arabi dan
lain-lain. Di dalam syair-syairnya Hamzah Fansuri sering menampilkan
ucapan-ucapan syathahat bayazid dan al-Hallaj, dua wira sufi
yang diteladaninya. Selain berfungsi memadatkan pengucapan puitik, kutipan
ucapan syathahat ini memberikan suasana ekstase atau kegairahan mistik dan juga
untuk mengukuhkan tafsir sufistik penyair terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits qudsi yang terdapat di dalam bait-bait sebelumnya, misalnya di dalam ikatan-ikatan
yang menggambarkan pengalaman fana penyair.[6]
Untuk membicarakan sekilas tentang Hamzah Fansuri dan
sejarah pemikirannya, terlebih dahulu perlu dikemukakan sejarah pemikiran
sufistik dari pemikiran Plato. Ada perbedaan pemikiran antara
Plato dan Aristoles tentang jiwa (forma) dan badan (materia). Plato meyakini
tentang adanya keabadian jiwa, sedangkan Aristoteles mengingkarinya.Pemikiran
Plato di atas, selanjutnya dikembangkan oleh pemikiran Neo-Platonisme yang dipelopori
Plotinus. Ia berpendapat bahwa kejadian alam semesta seisinya itu tidak
diciptakan, tetapi dipancarkan oleh Dhat Yang Maha Kuasa. Semua ciptaan
ada dari sesuatu yang sudah ada (pre eksis) yang disebut ide. Jadi, dari
tataran Tuhan sampai dengan tataran tataran alam semesta seisinya, kejadiannya
melalui pemancaran (emanasi), yaitu dari tataran Tuhan memancar ke
sifat, dari sifat memancar ke ide, dan dari ide memancar ke alam semesta.
Perlu
dikemukakan bahwa pemancaran yang semakin jauh dari sumbernya, yaitu Tuhan,
dapat mengakibatkan semakin lemah sehingga tinggal materinya saja. Pemikiran
Platonis di atas selanjutnya dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa
alam semesta seisinya merupakan penampakan (manifestasi) diri al-Haqq (tajalli).
Dalam penampakannnya, dari tataran Tuhan (a’yan thabitah)ke tataran
alam semesta seisinya (a’yan khorijiyah) telah diakomodir di rumah Islam
dengan diselingi kalimat kun fayakun (jadilah! Maka menjadilah), yaitu
dari tataran Tuhan menampakkan diri ke sifat, dari sifat menampakkan diri ke
ide, dari tataran ide diselingi kalimat kun fayakun, dan akhirnya
menampakkan diri ke alam semesta seisinya.
Selain
pemikiran Ibnu ‘Arabi di depan, ada juga pemikiran sufistik Fadlullah
al-Burhanpuri. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa Wujud (Tuhan) dipandang
dari segi hakikatnya tidak dapat diungkap oleh siapapun dan tidak dapat
dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Keberadaannya tanpa bentuk,
ukuran, batas, bahkan lebih lembut dari itu. Maujud (alam semesta seisinya)
merupakan pertunjukan dan yang dipertujukkan adalah Wujud, yaitu Tuhan.
Dengan pertujukkan itulah, Wujud dapat dilihat, diungkap, dikenal, dan
didekati terutama melalui diri manusia yang pusatnya di hati.
Sementara
itu pemikiran sufistik Hamzah Fansuri sendiri dipandang telah terpengaruh oleh
pemikiran Neo-Platonisme. Hamzah adalah seorang zahid yang mencari
penyatuan dirinya dengan Khaliq. Pemikiran sufistik Hamzah Fansuri
berpijak kepada hadits yang berbunyi : “ man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa
rabbahu,” Barang siapa telah mengenal dirinya, maka pasti ia
mengetahui Tuhannya”. Ia berpendapat bahwa Dhat dan hakikat Tuhan itu
sama dengan dhat dan hakikat alam semesta seisinya (Wahdat al-Wujud).
Metode
dan teknik penyampaian daripada pemikiran Hamzah dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1.
Tuhan pertama-tama didudukkan pada
tempat yang nyata, tetapi sebenarnya Ia tidak
nyata (la ta’ayyun). Tuhan dengan segala kebulatannya masih abadi (tidak berakhir)
dan azali (tidak berawal).
nyata (la ta’ayyun). Tuhan dengan segala kebulatannya masih abadi (tidak berakhir)
dan azali (tidak berawal).
2.
Tuhan pertama-tama memanifestasikan
dirinya melalui sifat, lalu keluar dan
membentangkan diri-Nya dengan sifat-Nya, seperti al-Rahman, al-Rahim, dan
lain sebagainya sehingga Ia dapat dimengerti.
membentangkan diri-Nya dengan sifat-Nya, seperti al-Rahman, al-Rahim, dan
lain sebagainya sehingga Ia dapat dimengerti.
3.
Tempat lembaga (yakni asma’Nya)
yang akan mendapat sasaran sifat-sifat Tuhan,
yaitu yang disebut a’yan thabitah ataupun ta’ayyun thani (kenyataan yang tetap)
yang masih dalam wujud, dhat, dan hakikatNya serta masih belum berpisah (masih
dalam kandungan Tuhan).
yaitu yang disebut a’yan thabitah ataupun ta’ayyun thani (kenyataan yang tetap)
yang masih dalam wujud, dhat, dan hakikatNya serta masih belum berpisah (masih
dalam kandungan Tuhan).
4.
Tuhan keluar dari kandunganNya, yaitu
dari a’yan thabitah ke a’yan kharijiyah
(kenyataan yang ada di luar, yaitu alam semesta seisinya). Proses keluarnya tidak
melalui penciptaan, tetapi melalui penampakan diri (tajalli).
(kenyataan yang ada di luar, yaitu alam semesta seisinya). Proses keluarnya tidak
melalui penciptaan, tetapi melalui penampakan diri (tajalli).
Dari metode dan
tekhnik penyampaiannya itu, lahirlah konsep Martabat Empat dan Martabat Lima
yang kemudian dikembangkan oleh Shamsuddin menjadi Martabat Tujuh setelah ia
mendapat pelajaran dari Fadlullah al-Barhanpuri dan Hamzah.
Definisi Wujudiah
Wujud
adalah
Dhat Allah yang ada dan keberadaanNya itu tanpa bentuk, ukuran, dan
batasan, bahkan lebih lembut dari itu. Karena itu, Wujud dipandang
dari segi hakikatnya tidak dapat diungkap oleh siapapun dan tidak dapat
dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Selain itu, Wujud juga
tidak dapat dianalogikan karena akal, angan-angan, dan perasaan merupakan
ciptaan baru. Sebagai ciptaan baru, ia tidak dapat dijangkau atau diungkap oleh
hakikat dirinya kecuali Yang Maha Pembaharu. Siapapun yang ingin berusaha
sekuat tenaga untuk mengetahui dan mengungkap hakikat Wujud, maka hal
itu hanya merupakan perbuatan sia-sia dan hanya menghabiskan umurnya saja.
Al-Khalq
adalah
ciptaan atau alam jasmani. Al-Khalq mengacu pada ciptaan yang merupakan
hasil dari perintah Pencipta, “Jadilah!” (“Kun”). Istilah al-Khalq (ciptaan)
sering kali digunakan sebagai lawan kata al-Haqq (Yang Maha Benar). Yang
pertama kali diciptakan Allah adalah cahaya Muhammad dan dari cahayanya segenap
eksistensipun menjadi maujud. Nabi Muhammad SAW bersabda, “ Aku berasal
dari Cahaya Allah dan seluruh dunia berasal dari cahayaku”. Ciptaan itu sendiri
hanya bisa maujud melalui diriya.
Al-Ka’in
(yang
ada, yang jadi) menunjukkan bahwa sesuatu sudah “mempunyai eksistensi atau Wujud”
karena Allah telah mengucapkan perintah “Jadilah!” (“Kun!”)
kepada sesuatu itu. Artinya, seluruh makhluk diciptakan dengan kata perintah “Kun!”
dan akan meninggalkan dunia ini manakala waktunya sudah habis.
Sementara itu, mumkinul wujud merupakan sesuatu yang mungkin tidak ada (mumtani’)
alam imajinasi adalah tempat segala sesuatu yang tidak mungkin ada di dalam
kosmos, tetapi mungkin ada di alam pikiran manusia. Eksistensi mumkinul
wujud dan mumtani’ di dunia ini bergantung sepenuhnya pada kehendak
Allah yang mengeluarkannnya dari pengetahuan batiniah dalam esensi pada
manifestasi lahiriah dalam dunia. Adapun wajibul wujud (keharusan wujud)
adalah realitas yang tidak dapat tidak harus ada. Allah menemukan diriNya
sendiri dan mustahil menemukan selain diriNya. “Penemuan” itu bergantung
sepenuhnya pada kemurahan Allah kepada suatu entitas untuk menemukan Allah.
Al-Makhluq
(ciptaan)
merupakan ciptaan Allah yang meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta
ini. Allah sendiri disebut Khaliq yang memerlukan adanya ciptaan (al-makhluq)
dan ciptaan membutuhkan Penciptanya (al-Khaliq). Karena itu, kosmos
haruslah ada karena hakikat-hakikat ketuhanan (Ilahi) membutuhkannya.
Selain itu kata
maujud dan kata wujud merupakan dua hal yang berbeda. Maujud adalah
alam semesta isinya, termasuk manusia, merupakan pertunjukan dan yang
dipertunjukkan adalah Wujud (Allah Ta’ala). Dengan pertunjukkan itulah, Wujud
(Allah Ta’ala) dapat dilihat, diungkap, dikenal, dan didekati, terutama
melalui diri manusia.
Hubungan
manusia dengan Allah atau hubungan maujud dengan Wujud sebagaimana
yang dikemukakan di depan merupakan hubungan Tuhannya untuk mencapai kesatuan Wujud
(Wahdat al-Wujud). Untuk memahami dan mengungkapkan hubungan tersebut
diperlukan pendekatan tasawuf, baik secara epistimologis (melalui empat
tingkatan yaitu syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat) maupun secara
filosofis (melalui martabat tujuh dan melalui pemahaman Dhat, sifat-sifat,
nama-nama, dan perbuatan-perbuatan).
Definisi Wahdat al-Wujud
Pengertian Wahdat
al-Wujud terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, Wahdat al-Wujud berarti
sang hamba mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah hakikat seluruh makhluq. Akan
tapi. Ia tidak menyaksikan Allah Ta’ala dalam ciptaanNya. Kedua, Wahdat
al-Wujud berarti sang hamba dapat menyaksikan Allah Ta’ala melalui
makhluqNya dengan kesaksian hati. Tingkatan ini lebih tinggi daipada yang
pertama. Ketiga, Wahdat al-Wujud berarti sang hamba menyaksikan Allah
Ta’ala pada makhlukNya dan menyaksikan makhluk pada Allah Ta’ala. Dengan
demikian, keduanya tidak mempunyai perbedaan. Tingkatan ini lebih utama dan
lebih tinggi daripada tingkatan yang pertama dan kedua. Selain itu, tingkatan
ini merupakan tingkatan para Nabi, para wali, dan orang-orang yang mengikuti
ajaran mereka. Dalam tingkatan yang ketiga ini dikemukakan bahwa semua makhluk
dilihat dari segi ta’ayyunnya bukan Allah Ta’ala. Sebagaimana firman
Q.S. Qaf 16 : wa nahnu aqrobu ilaihi min habli al-warid, “ Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, Q.S. Hijr 28 – 29 : wa
idh qola robbuka li adama inni kholiqun basharan min solsolin min hamain
masnun. Faidha sawaituhu wa nafakhtu fihi min ruhi faqo’u lahu sajidin,
” dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku (ruh ciptaanKu),
maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud, hadits Nabi: Kholaqo Allahu
adama ‘ala surotihi, dan hadits Nabi : idha qama ila al-solati fa innama
yunaji rabbahu, fa inna rabbahu bainahu wa baina qalbihi, “Apabila
seseorang salat, maka sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Allah. Jarak
antara ia dengan Allah seperti ia dengan hatinya sendiri”.
Dari tiga
tingkatan Wahdat al-Wujud itu, dapat dikemukakan bahwa apabila seseorang
ingin sampai dan bertemu dengan AllahTa’ala hendaknya mengikuti Nabi Muhammad
SAW, baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin, kemudian berusaha sekuat
tenaga untuk memahami Wahdat al-Wujud. Cara untuk mendekatkan diri pada
Allah Ta’ala adalah dengan menghilangkan ego yang ada pada diri masing-masing.
Selain itu, ada beberapa tahapan yang harus dipahami dan diamalkan oleh para Salik
agar dapat mendekatkan diri kepada AllahTa’ala dan dapat bersatu denganNya.
Beberapa tahapan yang dimaksud terdiri atas tiga kelompok yang dapat dipahami
dan diamalkan, baik pemahaman dan pengamalan secara epistemologis maupun secara
filosofis. Ketiga kelompok yang dimaksud adalah pertama, tahapan yang terdiri
dari syari’at, tarekat, hakikat, ma’rifat; kedua, tahapan Martabat Tujuh; dan
ketiga, tahapan yang terdiri dari atas Dhat, sifat-sifat, asma’ (nama-nama),
dan af’al (perbuatan-perbuatan).
Konsep Martabat Lima
Dhat
Allah Ta’ala bernama kunhu al-dhati al-haqqi atau asal muasal Dhat
Yang Maha Benar. Ahlu al-Suluk menamai kunhu al-dhati al-haqqi dinamakan
la ta’ayyun (tidak nyata) disebabkan oleh ilmu dan ma’rifat para
manusia, para Ahlu al-Suluk, para Wali, bahkan para Nabi, tidak akan pernah
dapat menembusNya ataupun sampai kepadaNya. Walaupun kedudukan Dhat
Allah pada tataran lata’ayyun (tidak nyata) atau kunhu al-dhati al-haqqi
tidak dapat ditembus oleh ilmu dan makrifat manusia, Dia cinta untuk
dikenal. Karena itu, Dia menciptakan alam semesta seisinya dengan maksud agar
diriNya dikenal. Sebagaimana hadits berikut : kuntu kanzan makhfiyan fa ahbabtu
an u’rafa fa khalaqtu al-haqqa fabi ‘arafuni, Aku pada mulanya merupakan
perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan
makhluk dan melalui Aku mereka dapat mengenal-Ku. Cinta untuk dikenal inilah
yang didalam ilmu tasawuf disebut permulaan tajalli (penampakan)Tuhan.
Sesudah tajalli dilakukan, Diapun dinamakan ta’ayyun (nyata).
Keadaan Tuhan di dalam ta’ayyun atau nyata ini dapat dicapai dan
ditembus oleh pikiran, pengetahuan, dan makrifat manusia karena Tuhan telah
menampakkan diri (tashbih) atau imanen. Ta’ayyun (nyata) dibagi
ke dalam empat martabat atau sering disebut Martabat Empat.
Ø Ta’ayyun
Awwal (kenyataan yang pertama) ada empat macam, yaitu
pengetahuan, Wujud, Shuhud, dan Nur. Dengan adanya Pengetahuan,
dengan sendirinya Tuhan Yang Mengetahui dan yang diketahui menjadi nyata.
Dengan adanya Wujud, dengan sendiri Nya Dia itu adalah Yang Mengada,
Yang Mengadakan atau Yang Ada dan yang diadakan menjadi nyata. Dengan adanya Shuhud
dengan sendiriNya Dia itu adalah Shahid (Yang Menyaksikan) dan Mashhud
(Yang Dilihat) menjadi nyata. Dengan adanya Nur dengan
sendiriNya Dia itu adalah Yang Menerangkan dan Yang Diterangkan menjadi nyata.
Ø Ta’ayyun
Tsani, adalah Yang Diketahui, Yang Diadakan, Yang Dilihat,
dan Yang Diterangkan masih dalam kandungan Allah dan disebut a’yan tsabitah
(kenyataan yang tetap), yakni esensi segala sesuatu. A’yan Tsabitah
atau ta’ayyun tsani disebut juga shuwar al-‘ilmiyah (bentuk
yang dikenal), haqiqot al-ashya’ (hakikat segala sesuatu di alam semesta),
ruhu al-iafi (ruh yang terpaut).
Ø Ta’ayyun
Tsalits berupa ruh al-insani (ruh manusia), ruh
al-hayawani (ruh hewan), dan ruh al-nabati (ruh
tumbuh-tumbuhan),
Ø Ta’ayyun
Rabi’ dan Khamis berupa penciptaan jasmani alam
semesta seisinya, termasuk manusia. Penciptaan tiada berkesudahan (ila ma la
nihayatan lahu) karena apabila tidak melakukan penciptaan, Tuhan tidak
dapat dikenal sebagai Pencipta. Dengan demikian, terdapat lima tataran dari tajalli
Tuhan, yaitu la ta’ayyun, ta’ayyun awwal, ta’ayyun tsani, ta’ayyun
thalits, ta’ayyun rabi’ dan khamis ila mala nihayata lahu. Karena
itu, ajaran ini dapat dikatakan sebagai ajaran Martabat Lima.
Hamzah Al-Fansuri bukan hanya seorang
ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor
bagi perkembangan kebudayaan Islam karena sumbangannya sangat besar. Di bidang
keilmuan, dia telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang
demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Di bidang sastra ia juga mempelopori
pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman
kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman
ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada
di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Hamzah Al-Fansuri.
Di samping itu Hamzah Al-Fansuri telah
berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika melayu
yang mantap dan kukuh. Pengaruhestetika dan puitika yang
diasaskan oleh Hamzah Al-Fansuri di dalam kesusasteraan Indonesia dan Melayu
masih kelihatan sampai abad ke-20. Khususnya di dalam karya penyair pujangga
baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah, sastrawan-sastrawan Indonesia
angkatan 70-an Danarto dan Sutardi Calzoum Buchiri berada di dalam satu jalur
estetik dengan Hamzah Al-Fansuri.
Di bidang kebahasaan pula, sumbangan
Hamzah Al-Fansuri sukar untuk dapat diingkari apabila kita mau . Pertama,
sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Hamzah Al-Fansuri
telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua
Franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan
modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan
persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang
lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua,
jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah Al-Fansuri,
akan tampak betapa besarnya jasa Hamzah Al-Fansuri dalam proses Islamisasi
bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan
kebudayaan, di dalam 32 ikat-ikatan syairnya saja terdapat kurang lebih 700
kata ambilan dari bahasa Arab yang bukan saja memperkaya perbendaharaan kita
bahasa Melayu, tetapi dengan demikian juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam
di dalam berbagai bidang kehidupan ke dalam sistem bahasa dan budaya melayu.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan
telaah sastra Hamzah Al-Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutikakeruhanian,
kepiawaian Hamzah Al-Fansuri di bidang hermeneutika terlihat
di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat),
sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli
tasawuf nusantara, disitu Hamzah Al-Fansuri memberi tafsir dan takwil atas
puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan
yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika.
Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang
pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan
klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil
terhadap syair-syairnya sendiri. Hamzah Al-Fansuri berhasil menyusun sebuah
risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hamzah
Al-Fansuri adalah salah seorang sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj yakni paham wujudiyah,hulul, ijtihad, mahabbah
dan lain sebagainya yang seirama dengan Al-Hallaj.Paham Wujudiyah
yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui konsep martabat limanya bahwa
ta’ayyun awwal dinamai ahad, yakni Yang Esa apabila DhatNya
yang la ta’ayyun (yang tidak nyata) diasingkan daripadaNya. Apabila disertakan sifat dan
ibaratNya, maka dinamakan Wahid, yakni Yang Satu, Yang Pertama. Hamzah Al-Fansuri bukan hanya seorang
ulama tasawuf, tetapi juga seorang sastrawan, perintis dan pelopor bagi
perkembangan kebudayaan Islam karena sumbangannya sangat besar, berupa prosa, syair, dan lain
sebagainya.
B. Saran
Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak
kekurangannya, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Setelah kita mengetahui tentang pembahasan di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka
dari itu agar pengetahuan kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan
pengetahuan yang kita peroleh agar bermanfaat bagi orang lain dan
khususnya untuk diri kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2012.
Anwar,
Rosihon, Akhlak Tasawuf, Ed.Rev, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Claude
Guillot dan Ludvik Kalus, Batu Nisan Hamzah Fansuri, Jakarta: Ecole
francaise d’Extreme-Orient bekerja sama dengan Farum Jakarta-Paris serta Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.
http://belajar2bl.blogspot.co.id/2014/10/tasawuf-falsafi-shekh-hamzah-fansuri.html
http://hanputra.blogspot.co.id/2012/07/sheikh-hamzah-fansuri-pemikirannya.html
http://hanputra.blogspot.co.id/2012/07/sheikh-hamzah-fansuri-pemikirannya.html
[1]Drs. Samsul
Munir Amin, M.A., Ilmu Tasawuf, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2012, hal.335
[2] Prof.Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, Ed.Rev, Bandung: Pustaka Setia,
2010, hal.341
[3]http://belajar2bl.blogspot.co.id/2014/10/tasawuf-falsafi-shekh-hamzah-fansuri.html diunduh 24-09-15 11.00
[5]Claude Guillot
dan Ludvik Kalus, Batu Nisan Hamzah Fansuri,Jakarta: Ecole francaise
d’Extreme-Orient
bekerja sama dengan Farum Jakarta-Paris serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007, hal.12
bekerja sama dengan Farum Jakarta-Paris serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007, hal.12
[6]http://hanputra.blogspot.co.id/2012/07/sheikh-hamzah-fansuri-pemikirannya.htmldiunduh24-09-15 11.00
[7]http://belajar2bl.blogspot.co.id/2014/10/tasawuf-falsafi-shekh-hamzah-fansuri.html diunduh 24-09-15 11.00
[8]http://hanputra.blogspot.co.id/2012/07/sheikh-hamzah-fansuri-pemikirannya.htmldiunduh24-09-15 11.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar