Rindu Ibu
Hari ini adalah hari tepat jadwal
perpulangan ma’had, Jum’at, 8 April 2016. Di mana hari itu merupakan hari yang
dinanti-nanti banyak santri untuk segera berbondong-bondong pulang ke rumah.
Entah sekedar hanya untuk mengobati rasa rindu kepada sanak family atau
ada keperluan lain. Sebagai santri aktif ma’had, memang suatu keharusan agar
selalu mematuhi segala macam aturan yang ada, termasuk perpulangan yang
dijadwal dalam dua minggu sekali. Tidak begitu ketat menurutku jika dibanding
dengan di pondokku waktu Madrasah Aliyah dulu.
Bagiku semester ini sangat jauh
berbeda dengan semester sebelumnya. Sebab semester lalu aku bisa dibilang
sangat jarang pulang, sedangkan dalam semester ini aku tidak pernah absen
setiap kali perpulangan. Mungkin karena aku bosan dengan suasana ma’had yang
begini-begini saja, terlebih lagi kalau waktu liburan, seakan menjadi
pengangguran sukses yang gak jelas mau ngapain.
Kereta api menjadi sarana utama
bagiku untuk sampai di kota kelahiranku, Blitar. Memang tidak begitu jauh sih,
tapi ekonomisnya harga menjadi pilihan yang tepat untuk mahasiswa yang
pas-pasan sepertiku. Selain itu, keamanan dan kenyamanan dalam kereta bernilai
lebih jika dibanding dengan mengendarai bus. Belum lagi kalau pusing dan mabuk
kendaraan karena ugal-ugalannya sopir bus. Jadi naik kereta lebih aku
prioritaskan, kecuali jika ada suatu hal mendesak yang menuntutku untuk segera
sampai di rumah.
Sebuah pemandangan berbeda aku
temukan saat perjalanan pulangku kali ini, tepatnya di gerbong kereta penataran
nomor tiga yang aku tumpangi. Ada seorang penumpang yang hebohnya luar biasa
sampai membuatku serta penumpang lainnya merasa aneh dan cengar-cengir
melihatnya. Seorang nenek perempuan berpenampilan barbie yang sangat
genit, bahkan ngalahin gayanya anak muda. Semua orang heran melihat tingkah
lakunya, tapi juga tak kuasa menahan tawa saat mendengar comelannya. Bahkan ada
sebagian orang yang justru menanggapinya. Kalau menurutku nenek ini bisa
dibilang mengalami gangguan jiwa, entah mungkin karena pengalaman masa lalunya
yang kurang baik atau lingkungan hidup yang mempengaruhi psikisnya. Hal itu
bisa dilihat dari omongannya yang ngawur dan enggak punya rasa malu sama
sekali. Hingga akhirnya dia bilang tidak punya uang sepeserpun dan langsung
meminta-minta pada semua penumpang yang ada dalam satu gerbong tersebut.
Selesai meminta-minta, nenek itu
kembali menduduki tempatnya. Lagi-lagi dia bersikap tidak wajar seperti halnya
orang normal. Dia melepas kerudung yang dipakainya dan mengalungkannya di leher
seperti halnya memakai slayer. Kemudian dia memakai dobelan rok berwarna hijau
di tempat duduknya itu. Sampai-sampai dua orang lelaki yang duduk di dekatnya
merasa ilfeel dan berbalik arah membelakanginya. Semua orang tak lagi
menanggapi dan membiarkan tingkah lakunya. Tidak lama kemudian, ada seorang
perempuan datang menghampiri tempat duduk nenek tersebut. Dan ternyata kursi
yang di duduki nenek itu bukanlah tempat duduk asli miliknya. Hingga akhirnya
nenek itu pun pergi ke gerbong depan dan suasana kembali nyaman.
Tidak selang berapa lama, kereta sampai
di stasiun yang aku tuju (Talun). Suasana nyaman mulai kurasa saat turun dari
kereta, karena aku disambut oleh pemandangan indah yang tak pernah jenuh aku
melihatnya. Hamparan tanaman hijau terbentang luas dan melambai-lambai seiring
datangnya angin, seakan riang menyambut kedatanganku. Hal ini yang selalu membuat
aku rindu pada kota kelahiranku dan tak
ingin meninggalkannya terlalu lama.
Jarak dari stasiun ke rumahku tidak
begitu dekat. Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk tiba di kampung
halaman. Tidak lama kemudian, ibuku datang menjemput mengendarai sepeda motor
tua yang dibeli bapakku sekitar tujuh tahun silam. Rasa rinduku kini terobati
setelah aku melihatnya tersenyum dan keadaannya baik-baik saja. Setelah itu,
ganti aku yang menyetir untuk perjalanan pulang karena aku merasa takut
dibonceng ibu yang masih kaku dalam mengendarai motor. Maklum, belajar naik
motor di waktu tua emang gak bisa semaksimal anak muda.
Sesampainya di rumah, hati menjadi
lebih senang karena disambut pula oleh seorang lelaki separuh abad berambut
hitam putih yang tak lain adalah bapakku. Meskipun adikku belum terlihat karena
masih sekolah. Bukan mereka saja yang aku rindukan, tapi juga masakan ibu yang
khas dan enak. Hingga aku tak segan mengambil nasi dan lauk yang tersedia untuk
segera mengisi perut. Setelah itu, aku beristirahat melepas lelah dengan
berbaring di atas ranjang kecilku. Mengisi liburan bersama keluarga memang
selalu menyenangkan bagiku dibanding pergi ke tempat wisata dengan teman.
Sebab, di situlah aku mendapatkan tulusnya kasih sayang dari orang-orang yang
sangat berharga dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar