BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Doa merupakan salah satu fenomena penting bagi setiap agama karena
salah satu bentuk penyembahan terhadap Tuhan. Setiap agama mempunyai cara dan
tradisi tersendiri dalam menyampaikannya. Tidak hanya pada agama saja,
melainkan juga pada orang adat atau primitif yang masih memegang kuat
prinsipnya. Mereka juga mempunyai tradisi tersendiri untuk itu. Doa bisa
dilakukan dengan sendiri ataupun bersama untuk meminta hajat pada Sang Pencipta
atau tujuan lainnya. Munculnya doa merupakan kecenderungan kodrati manusia
untuk memberikan ungkapan dari pikiran dan rasa dalam hubungannya dengan yang
Ilahi. Selain doa, adapula praktik spiritual yang hamper serupa dengannya yang
biasa disebut meditasi. Hal ini juga terkait dengan peribadatan yang
berbeda-beda dalam tiap agama. Ada yang tidak mempercayai doa akan tetapi
meditasi menjadi sumber ketenangan dan ada pula yang menganggap bahwa doa
merupakan rangkaian dari meditasi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan doa?
2.
Apa
yang dimaksud dengan meditasi?
3.
Bagaimana
perbedaan dan kaitan antara doa dan meditasi?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
makna doa dari perspektif berbagai agama.
2.
Menjelaskan
tentang meditasi dari agama yang menerapkannya.
3.
Mendeskripsikan
perbedan dan kaitan antara doa dengan meditasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DOA
Doa berasal
dari bahasa Arab yang memiliki arti permohonan, pujian dan seruan. Dalam kitab
suci Al-Qur’an, kata doa didapati pada 212 tempat dengan arti yang
berbeda-beda. Menurut T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy doa berarti ibadah, permohonan
pertolongan dan bantuan, permintaan, percakapan, memanggil dan memuji. Melihat
pengertian ini, maka nampaknya doa sama dengan arti liturgia dalam bahasa
Yunani yang juga berarti ibadah umum, yaitu seluruh bentuk ibadah umum yang
diresmikan oleh berbagai gereja. Ini sama dengan arti prayer dalam kamus
Purwadarminta yaitu kebaktian umum. Lebih jauh mereka memahami doa sebagai
oratia, petisi dan permohonan. Aslinya kata oratio berarti “pernyataan
keinginan-keinginan oleh seseorang kepada Tuhan, sumber segala kebaikan”. Dalam
arti yang lebih luas dapat pula berarti sebagai budi yang menghadap Allah atau
berbicara dengan Allah. Menurut P.A.Stempvoort, liturgia berarti penyembahan
atau penghormatan oleh jamaat dan pelayanan sakramen. Menurut Islam, doa
berarti mengucapkan permohonan kepada Allah untuk memperoleh sesuatu hajat atau
maksud.[1]
Seumur dengan
agama, maka doa adalah unsur yang selalu nampak sebagai fenomena agama, karena
dia merupakan satu elemen yang selalu ada dalam agama. Banyak motivasi yang
menyebabkan manusia itu mencurahkan isi hatinya yang membanjir dalam kata-kata
cinta, terimakasih, penyesalan dan permohonan maaf kepada yang Maha Kuasa, yang
selalu waspada dan kasih sayang kepada semua, untuk inilah dengan terbata-bata
doa diucapkan dan dengan bersimpuh sujud, semua permohonan dicurahkan.
Berbagai pola
doa sebagaimana ditemukan dalam agama-agama yang hidup sampai hari ini memiliki
arti structural tipe yang berbeda, berikut di antaranya :
1.
Doa
dalam agama-agama kuno
Dalam agama-agama Afrika, banyak
orang secara teratur berdoa setiap hari baik dengan berdiri maupun berlutut di
depan tempat suci dari roh penjaga atau dewa-dewa yang lain. Pertama-tama Tuhan
disapa lebih dahulu secara langsung, sebelum dewa-dewa kecil dan roh-roh
lainnya dalam beberapa doa. Meminta pertolongan bukan satu-satunya unsur dalam
doa-doa orang Afrika. Ada doa di mana rasa mendalam akan keunggulan, daya,
kebebasan Tuhan diungkapkan dengan jelas. Rasa peka akan penyelenggaraan Ilahi
juga disuarakan secara eksplisit.
Sedangkan doa yang umum di antara
orang-orang Indian Amerika Utara dan orang Polinesia berbentuk permohonan belas
kasihan para arwah dan permohonan keberhasilan yang tampak dalam
penglihatan-penglihatan. Selain itu doa juga tampak sebagai ucapan terimakasih
bagi suku bangsa Iroqui, mengandung perasaan-perasaan agung kepada yang Ilahi
bagi suku Arapaho, dan melukiskan permohonan yang rendah hati bagi suku Tahiti.
2.
Doa
pada agama-agama Cina
Sejak dari awal, di Cina sudah ada
doa-doa yang ditujukan pada dewa-dewa dan roh-roh leluhur dengan harapan untuk
mencari dan membangun persekutuan dengan mereka. Dalam ibadah negara dari
Konfusianisme, doa menduduki tempat sentral dalam perayaan-perayaan. Doa-doa
disiapkan dan disusun dengan cermat, ditulis pada bamboo, sutera atau kertas
dan dibaca dalam keheningan, semua pemuja dengan hormat berlutut.
Di hadapan lempengan didirikanlah
altar-altar dengan lilin-lilin dan pembakar dupa untuk membuat
persembahan-persembahan kepada arwah Konfusius, yang dipercaya mendiami
lempengan itu selama upacara untuk ambil bagian dalam ibadah. Konfusius
dilahirkan setelah masuknya Buddhisme di China, dan gambar-gambarnya diganti
dengan lempeng-lempeng kayu sebagai symbol.
3.
Doa
pada agama-agama Jepang
Dalam ibadah domestic agama Shinto,
orang-orang Jepang mencuci wajah dan tangan mereka, membasuh mulut mereka,
menepuk tangan dua kali di depan kami-dana (semacam altar) dan berlutut dengan
kepala menyentuh tanah sambil berdoa. Buddhisme "Pulau Murni”[2]
dimulai oleh Honen Shonin untuk menunjukkan jalan keselamatan kepada
orang-orang awam biasa yang tidak mampu mencapai keselamatan dengan kekuatan
pribadi mereka sendiri, melainkan dengan kekuatan orang lain. Menurut dia,
barang siapa memohon kepada Amida Butsu dapat pergi ke Pulau Kemurnian,
meskipun mereka adalah pendosa. Agama Honen terdiri dari iman mutlak terhadap
daya penyelamatan Buddha yang penuh kasih saying, yang diwujudkan dalam pribadi
Amida.
4.
Doa
agama Hindu
Doa yang paling terkenal dan paling
mujarab menurut agama Hindu adalah Gayatri. Doa ini dipandang orang-orang Hindu
sebagai bentuk doa keagamaan yang paling mujarab dan pemujaan dalam rangka
pencapaian kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Dalam agama Hindu, doa
mempunyai berbagai jenis tujuan di antaranya sebagai permohonan untuk diri
sendiri atau untuk orang lain, ucapan terima kasih, pengakuan dosa, seruan atau
himne pujian, dan persekutuan dengan Tuhan. Hal yang paling penting bagi
seorang Hindu dalam doa adalah memasuki kahadiran Ilahi, bukan hanya minta
pertolongan.
5.
Doa
dalam Islam
Al-Qur’an menganjurkan umatnya untuk
setia dalam doa karena doa merupakan alat yang paling ampuh untuk memelihara
hubungan baik dengan Allah dan menempatkan hidup manusia dalam tujuan yang
jelas. Doa muslim umumnya dapat dimasukkan dalam tiga kategori : pujian dan
ucapan syukur, penyesalan serta permohonan. Umat Islam diperintahkan untuk
berdoa menghadap Mekkah karena merupakan pusat tempat kelahiran Islam. Di
samping kesadaran bahwa sesama saudara Muslim berdoa dengan cara itu,
ditumbuhkan dalam diri seorang Muslim rasa kesatuan dan solidaritas. Dengan
demikian, persaudaraan yang meliputi seluruh dunia diteguhkan.
6.
Doa
dalam Yudaisme
Doa merupakan
suatu kewajiban yang dibebankan pada setiaporang Yahudi dalam pengertian bahwa
ia hanya terikat oleh tugas berdoa sebagai suatu ibadah religious yang
dituntut, untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu, tetapi juga ia harus
mengabdi Allah secara internal, yakni untuk mencintai Tuhan Allahmu, untuk mengabdi-Nya
dengan sepenuh hatimu.
Buku Mazmur dan buku Yahudi yang
kemudian, Siddur, merupakan sumber pencurahan doa sepenuh hati bagi orang-orang
Yahudi sepanjang abad, yang memungkinkan mereka membangun komunikasi paling
dalam dengan Allah, dengan kepercayaan yang teguh bahwa Ia menjawab doa mereka.
Dalam doa, orang Yahudi sadar akan kehadiran yang Ilahi, mengakui transendensi
Allah dan sekaligus percaya bahwa Allah dekat dalam semua macam kedekatan.
Ketika seseorang masuk suatu sinagoga dan berdoa, ia dekat dengan Allah karena
pemohon seperti orang yang berbicara dekat telinga seorang sahabat.[3]
Kekuatan doa sangatlah luar biasa dampaknya terhadap diri manusia. Jadi
tidak lah heran jika tiap umat beragama mempunyai variasi doa yang berbeda. Di
antara fungsi doa antara lain sebagai permohonan, pengakuan kelemahan diri
manusia, pembuka segala bentuk upacara dan perbuatan, menciptakan dan merubah
nilai, memperoleh ketenanan dan kepuasan hati, serta sebagai tanda patuh dan
taat melaksanakan perintah Tuhan. Ada beberapa ketentuan mengenai doa, di
antaranya adalah :
1)
Tentang
tempat berdoa, di mana ada ketentuan yang mengutamakan bahwa doa itu dilakukan
di tempat khusus (rumah Tuhan) bagi umat Kristiani, ataupun di tempat
mustajabah (rumah Allah) bagi umat Islam.
2)
Objek
doa, di mana dalam setiap agama selalu mengajarkan doa yang mulia baik kepada
Tuhannya, diri sendiri, keluarga ataupun ditujukan pada yang lainnya.
3)
Waktu
berdoa. Tidak ada ikatan yang pasti, kapan saja boleh dilakukan, baik siang
maupun malam dan di semua tempat kalau perasaan ingin berdoa.[4]
Selain itu, terdapat pula aspek yang
terkandung dalam do’a. Aspek pertama adalah bersyukur pada Tuhan atas segala
rahmat yang tidak terhitung jumlahnya, yang dilimpahkan setiap saat pada
manusia di mana pada umumnya mereka tidak menyadarinya. Aspek kedua adalah
meletakkan kekurangannya di hadapan kesempurnaan Tak Terbatas dari keberadaan
Ilahi, dan memohon pengampunan dariNya. Ini menjadikan manusia sadar akan
keridlaannya, keterbatasannya, dan karena itu membuat dirinya tidak berdaya di
hadapan Tuhan (rendah hati). Aspek ketiga yakni untuk memberi tahu Tuhan akan
kesulitan seseorang, permasalahan hidup seseorang, dan meminta pada Tuhan apa
yang dia inginkan dan yang dia butuhkan. Aspek keempat yaitu sebagai panggilan
bagi pencinta pada kekasihnya. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk
yang lebih tinggi, dan untuk bisa berdo’a dengan cara ini, manusia harus
bangkit di atas tingkatan hidup biasa. Selama panggilan ini masih sulit bagi
umat manusia untuk mencintai manusia lainnya (yang dia lihat), akan lebih sulit
lagi untuk mencintai Tuhan (yang tidak pernah dilihatnya). Aspek kelima ialah
untuk mengetahui Tuhan, dan dengan cara ini diharapkan dapat memperoleh tarikan
yang lebih dekat pada Tuhan, yang merupakan arti sesungguhnya dari kata “kesatuan” yang berarti kesatuan
yang utuh. Hal ini tidak bisa dipelajari karena merupakan kecenderungan yang
alamiah, ia adalah daya tarik jiwa pada Tuhan. Yang berarti bahwa kebahagiaan
manusia tergantung pada kedekatannya dengan Tuhan. Kelima aspek do’a inilah
yang merupakan bentuk ibadah umat beragama. Setiap agama yang diturunkan, pada
waktu kapanpun dan di tempat manapun, diberikan tata caranya ketika mau
berdo’a.[5]
Tiga macam
fenomena agama yang paling penting yakni pemujaan bersama, doa perseorangan dan
keyakinan atau kepercayaan. Dua di antara yang tiga itu, pemujaan dan doa dapat
disatukan karena dalam pemujaan, doa muncul dan dengan berdoa terjadilah
pemujaan. Maka esensi pokok praktek keagamaan adalah doa permohonan. Maka tidak
usah diragukan lagi, doa itu memang fenomena agama yang paling penting, baik
diartikan terbatas, sebagai sekedar permohonan saja, maupun dipahami dalam arti
yang seluas-luasnya, meliputi: permohonan, menyerah diri kepada Allah dalam
bentuk sembahyang dan berkomunikasi dengan Tuhan, baik dalam bentuk ritual
komunal atau individual yang jelas kelihatan bisa diamati, maupun dalam lubuk
hati seseorang sebagai ritual yang sulit diselami.[6]
B.
Meditasi
Di samping doa yang sebenarnya, ada kegiatan keagamaan seperti doa
yang mempergunakan pemikiran verbal maupun tamsil mental yang biasa disebut
dengan meditasi. Pada sisi psikologiknya, meditasi diskursif yang disertai
gerakan-gerakan tertentu, di mana pemikiran terarah dalam bentuk kata-kata dan
berbagai citra dipergunakan untuk menimbulkan perubahan-perubahan mental yang
diinginkan pada orang yang melakukannya, bisa dianggap terkait dengan bentuk
pendidikan diri pribadi yang disebut otosugesti.[7]
Beberapa latihan persiapan yang berbeda-beda sudah digunakan dalam
berbagai budaya. Latihan-latihan itu mencakup penggunaan serangkaian ucapan
lisan seperti tindakan pengumpulan kembali, pengaturan posisi tubuh yang sudah
ditetapkan, dan berbagai cara pengaturan nafas. Semuanya ini dapat membantu
perkembangan sikap mental di mana pikiran terisi oleh gagasan yang tunggal dan
bebas dari bermacam-macam pikiran yang tidak relevan. Ini adalah kondisi yang
dikenal dalam praktek meditasi di Timur sebagai “kemanunggalan tujuan” (one
pointedness). Hal itu tidak diperoleh dengan pengendoran otot yang bahkan
cenderung menimbulkan kekacauan pikiran yang bahkan memuncak dalam kondisi
tidak sadar atau tertidur. Pengaturan posisi tubuh yang mentradisi dalam
meditasi.
Dalam beberbagai agama mempunyai tipe variasi meditasi yang
berbeda-beda, di antaranya adalah :
1.
Meditasi
Buddha
Satu-satunya doa yang dimiliki
orang-orang Theravada adalah meditasi, sedangkan aliran Mahayana menambahkan
juga doa-doa permohonan, permintaan, dan penyebutan nama Buddha. Meditasi
merupakan pendekatan Buddha yang paling utama mengenai agama. Tujuan tertinggi
dari meditasi adalah penerangan. Pada umumnya meditasi dimaksudkan untuk
memperkembangkan kesempurnaan spiritual, mengurangi akibat penderitaan,
menenangkan pikiran, membuka kebenaran mengenai eksistensi dan hidup bagi
pikiran. Keramahan dan simpati bersama dengan sikap yang terang atas fakta
kematian dan arti hidup adalah hasil-hasil meditasi.[8]
2.
Meditasi
Hindu
Meditasi didefinisikan sebagai arus
pengetahuan yang tidak terputus mengenai suatu pokok yang ditahan dalam
pikiran. Meditasi merupakan arus pemikiran yang ajek berkenaan dengan objek
konsentrasi, sementara upaya konsentrasi terlupakan, meski tetap memberikan suasana
hati yang mantap dari kehendak untuk sementara waktu. Tujuan meditasi Hindu ada
tiga hal, yaitu :
a.
Menghasilkan
rasa kedamaian dan kegembiraan yang tidak terganggu
b.
Menghasilkan
perubahan moral dan spiritual dalam diri yang bermeditasi
c.
Memperluas
kesadaran seseorang dan menghasilkan dalam diri orang yang bermeditasi itu
suatu rasa kesatuan mistik dengan segala sesuatu di dunia.[9]
3.
Meditasi
agama Kristen dan Katholik
Otosugesti
merupakan tindakan yang dianjurkan dalam buku-buku kebaktian Katholik. Metode
yang lebih drastik untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam sikap mental
adalah bentuk latihan mental di mana terdapat pengendalian secara terus-menerus
terhadap beberapa proses pemikiran verbal dan citra-citra mental. Hasilnya
sangat boleh jadi lebih besar daripada semua yang dihasilkan dari sekedar
membaca serangkaian ucapan yang bersifat otosugestif karena merupakan kegiatan
yang dilaksanakan dengan risiko bahaya lebih besar dan dalam jangka waktu lebih
lama. Efektifitasnya bisa juga ditingkatkan dengan menggunakan beberapa
kegiatan persiapan secara mental maupun fisik.
Dalam agama
Kristen, meditasi yang biasa dilakukan dengan mengurangi pemikiran verbal
sampai batas minimum dan perhatian lebih banyak diberikan pada kegiatan
visualisasi. Jenis meditasi di mana berbagai citra, bukan kata-kata, merupakan
komponen utamanya barangkali bisa disebut “kontemplasi ignatian” (Ignatian
Contemplation). Tujuan utama meditasi ini adalah mengarahkan kepada pilihan
terhadap apa, yang dalam peristilahan agama Kristen Protestan disebut
“konsekrasi” atau berserah diri kepada kehendak Tuhan.[10]
C.
Perbedaan
dan Kaitan antara Doa dengan Meditasi
Tidak ada perbedaan yang tajam antara doa dengan meditasi. Meditasi
berbeda dengan doa karena ternyata tidak diutamakan untuk diarahkan kepada
dunia spiritual melainkan untuk memodifikasi kondisi kesadaran atau pola-pola
perilaku orang yang terlibat di dalamnya. Meditasi sedikit banyaknya dapat
dibarengi dengan sikap mental orang yang berdoa, sedangkan doa sedikit
banyaknya berpengaruh terhadap kesadaran orang yang melakukannya. Ahli
psikologi barangkali lebih tertarik dengan efek-efek subyektif doa semacam ini
daripada terhadap persoalan mengenai konsekuensi-konsekuensi apakah yang
mungkin dihadapi oleh orang yang berdoa itu di dunia spiritual, namun efek-efek
subyektif dari doa ini bukan tujuan utamanya, bila dilihat dari sudut pandang
orang yang berdoa itu. Oleh karena itu, barangkali ada gunanya untuk dibedakan
antara “doa” di mana tujuan utamanya bersifat obyektif dan “meditasi” yang
tujuan utamanya bersifat subyektif.[11]
Keduanya merupakan kegiatan mental yang jelas ditujukan kepada dunia spiritual
mempunyai berbagai akibat juga terhadap kondisi kesadaran orang yang terlibat
di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Doa dan meditasi merupakan fenomena dalam setiap agama. Keduanya
merupakan hal yang sangat berkaitan, terutama dalam hal mental dan spiritual.
Akan tetapi, dalam doa tujuannya bersifat objektif, sedangkan meditasi bersifat
subjektif terhadap orang yang melakukannya saja.
B.
Saran
Tentu dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah
kita mengetahui tentang doa dan meditasi
di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan
kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh
agar bermanfaat bagi orang lain dan khususnya
untuk diri kita sendiri.
[1] Proyek
pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama
Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal. 58.
Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal. 58.
[2] Praktik
kesempurnaan dalam Buddhisme Mahayana dibagi dalam sepuluh tahap, semuanya
menggunakan kata
“Pulau” (Bhumi). Hal ini mengingatkan kita pada perjalanan hidup sebagai naik perahu menuju sesuatu pulau
“penerjemah”.
“Pulau” (Bhumi). Hal ini mengingatkan kita pada perjalanan hidup sebagai naik perahu menuju sesuatu pulau
“penerjemah”.
[3] Mariasusai
Dhavamony, Fenomenologi Agama, Cetakan ke 7, Penerbit Kanisius
Yogyakarta, 2002, hal.268
[4] Proyek
pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.86
Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.86
[5] Hazrat Inayat Khan, Kesatuan
Ideal Agama-agama, Cetakan I, Penerbit Putra Langit, April 2003, hal.35
[6] Proyek
pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.107
Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.107
[7] Robert
H.Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Cetakan ke tiga, PT Raja Grafindo
Persada Jakarta, Februari
2000, hal.175
2000, hal.175
[8] Mariasusai
Dhavamony, Fenomenologi Agama, Cetakan ke 7, Penerbit Kanisius
Yogyakarta, 2002, hal.252
[9] Ibid
[10] Robert
H.Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Cetakan ke tiga, PT Raja Grafindo
Persada Jakarta, Februari
2000, hal.181
2000, hal.181
[11] Ibid, hal.166