Senin, 07 Maret 2016

makalah doa dan meditasi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Doa merupakan salah satu fenomena penting bagi setiap agama karena salah satu bentuk penyembahan terhadap Tuhan. Setiap agama mempunyai cara dan tradisi tersendiri dalam menyampaikannya. Tidak hanya pada agama saja, melainkan juga pada orang adat atau primitif yang masih memegang kuat prinsipnya. Mereka juga mempunyai tradisi tersendiri untuk itu. Doa bisa dilakukan dengan sendiri ataupun bersama untuk meminta hajat pada Sang Pencipta atau tujuan lainnya. Munculnya doa merupakan kecenderungan kodrati manusia untuk memberikan ungkapan dari pikiran dan rasa dalam hubungannya dengan yang Ilahi. Selain doa, adapula praktik spiritual yang hamper serupa dengannya yang biasa disebut meditasi. Hal ini juga terkait dengan peribadatan yang berbeda-beda dalam tiap agama. Ada yang tidak mempercayai doa akan tetapi meditasi menjadi sumber ketenangan dan ada pula yang menganggap bahwa doa merupakan rangkaian dari meditasi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan doa?
2.      Apa yang dimaksud dengan meditasi?
3.      Bagaimana perbedaan dan kaitan antara doa dan meditasi?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui makna doa dari perspektif berbagai agama.
2.      Menjelaskan tentang meditasi dari agama yang menerapkannya.
3.      Mendeskripsikan perbedan dan kaitan antara doa dengan meditasi.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    DOA
Doa berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti permohonan, pujian dan seruan. Dalam kitab suci Al-Qur’an, kata doa didapati pada 212 tempat dengan arti yang berbeda-beda. Menurut T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy doa berarti ibadah, permohonan pertolongan dan bantuan, permintaan, percakapan, memanggil dan memuji. Melihat pengertian ini, maka nampaknya doa sama dengan arti liturgia dalam bahasa Yunani yang juga berarti ibadah umum, yaitu seluruh bentuk ibadah umum yang diresmikan oleh berbagai gereja. Ini sama dengan arti prayer dalam kamus Purwadarminta yaitu kebaktian umum. Lebih jauh mereka memahami doa sebagai oratia, petisi dan permohonan. Aslinya kata oratio berarti “pernyataan keinginan-keinginan oleh seseorang kepada Tuhan, sumber segala kebaikan”. Dalam arti yang lebih luas dapat pula berarti sebagai budi yang menghadap Allah atau berbicara dengan Allah. Menurut P.A.Stempvoort, liturgia berarti penyembahan atau penghormatan oleh jamaat dan pelayanan sakramen. Menurut Islam, doa berarti mengucapkan permohonan kepada Allah untuk memperoleh sesuatu hajat atau maksud.[1]
Seumur dengan agama, maka doa adalah unsur yang selalu nampak sebagai fenomena agama, karena dia merupakan satu elemen yang selalu ada dalam agama. Banyak motivasi yang menyebabkan manusia itu mencurahkan isi hatinya yang membanjir dalam kata-kata cinta, terimakasih, penyesalan dan permohonan maaf kepada yang Maha Kuasa, yang selalu waspada dan kasih sayang kepada semua, untuk inilah dengan terbata-bata doa diucapkan dan dengan bersimpuh sujud, semua permohonan dicurahkan.
Berbagai pola doa sebagaimana ditemukan dalam agama-agama yang hidup sampai hari ini memiliki arti structural tipe yang berbeda, berikut di antaranya :
1.      Doa dalam agama-agama kuno
Dalam agama-agama Afrika, banyak orang secara teratur berdoa setiap hari baik dengan berdiri maupun berlutut di depan tempat suci dari roh penjaga atau dewa-dewa yang lain. Pertama-tama Tuhan disapa lebih dahulu secara langsung, sebelum dewa-dewa kecil dan roh-roh lainnya dalam beberapa doa. Meminta pertolongan bukan satu-satunya unsur dalam doa-doa orang Afrika. Ada doa di mana rasa mendalam akan keunggulan, daya, kebebasan Tuhan diungkapkan dengan jelas. Rasa peka akan penyelenggaraan Ilahi juga disuarakan secara eksplisit.
Sedangkan doa yang umum di antara orang-orang Indian Amerika Utara dan orang Polinesia berbentuk permohonan belas kasihan para arwah dan permohonan keberhasilan yang tampak dalam penglihatan-penglihatan. Selain itu doa juga tampak sebagai ucapan terimakasih bagi suku bangsa Iroqui, mengandung perasaan-perasaan agung kepada yang Ilahi bagi suku Arapaho, dan melukiskan permohonan yang rendah hati bagi suku Tahiti.
2.      Doa pada agama-agama Cina
Sejak dari awal, di Cina sudah ada doa-doa yang ditujukan pada dewa-dewa dan roh-roh leluhur dengan harapan untuk mencari dan membangun persekutuan dengan mereka. Dalam ibadah negara dari Konfusianisme, doa menduduki tempat sentral dalam perayaan-perayaan. Doa-doa disiapkan dan disusun dengan cermat, ditulis pada bamboo, sutera atau kertas dan dibaca dalam keheningan, semua pemuja dengan hormat berlutut.
Di hadapan lempengan didirikanlah altar-altar dengan lilin-lilin dan pembakar dupa untuk membuat persembahan-persembahan kepada arwah Konfusius, yang dipercaya mendiami lempengan itu selama upacara untuk ambil bagian dalam ibadah. Konfusius dilahirkan setelah masuknya Buddhisme di China, dan gambar-gambarnya diganti dengan lempeng-lempeng kayu sebagai symbol.
3.      Doa pada agama-agama Jepang
Dalam ibadah domestic agama Shinto, orang-orang Jepang mencuci wajah dan tangan mereka, membasuh mulut mereka, menepuk tangan dua kali di depan kami-dana (semacam altar) dan berlutut dengan kepala menyentuh tanah sambil berdoa. Buddhisme "Pulau Murni”[2] dimulai oleh Honen Shonin untuk menunjukkan jalan keselamatan kepada orang-orang awam biasa yang tidak mampu mencapai keselamatan dengan kekuatan pribadi mereka sendiri, melainkan dengan kekuatan orang lain. Menurut dia, barang siapa memohon kepada Amida Butsu dapat pergi ke Pulau Kemurnian, meskipun mereka adalah pendosa. Agama Honen terdiri dari iman mutlak terhadap daya penyelamatan Buddha yang penuh kasih saying, yang diwujudkan dalam pribadi Amida.
4.      Doa agama Hindu
Doa yang paling terkenal dan paling mujarab menurut agama Hindu adalah Gayatri. Doa ini dipandang orang-orang Hindu sebagai bentuk doa keagamaan yang paling mujarab dan pemujaan dalam rangka pencapaian kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Dalam agama Hindu, doa mempunyai berbagai jenis tujuan di antaranya sebagai permohonan untuk diri sendiri atau untuk orang lain, ucapan terima kasih, pengakuan dosa, seruan atau himne pujian, dan persekutuan dengan Tuhan. Hal yang paling penting bagi seorang Hindu dalam doa adalah memasuki kahadiran Ilahi, bukan hanya minta pertolongan.
5.      Doa dalam Islam
Al-Qur’an menganjurkan umatnya untuk setia dalam doa karena doa merupakan alat yang paling ampuh untuk memelihara hubungan baik dengan Allah dan menempatkan hidup manusia dalam tujuan yang jelas. Doa muslim umumnya dapat dimasukkan dalam tiga kategori : pujian dan ucapan syukur, penyesalan serta permohonan. Umat Islam diperintahkan untuk berdoa menghadap Mekkah karena merupakan pusat tempat kelahiran Islam. Di samping kesadaran bahwa sesama saudara Muslim berdoa dengan cara itu, ditumbuhkan dalam diri seorang Muslim rasa kesatuan dan solidaritas. Dengan demikian, persaudaraan yang meliputi seluruh dunia diteguhkan.
6.      Doa dalam Yudaisme
Doa merupakan suatu kewajiban yang dibebankan pada setiaporang Yahudi dalam pengertian bahwa ia hanya terikat oleh tugas berdoa sebagai suatu ibadah religious yang dituntut, untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu, tetapi juga ia harus mengabdi Allah secara internal, yakni untuk mencintai Tuhan Allahmu, untuk mengabdi-Nya dengan sepenuh hatimu.
Buku Mazmur dan buku Yahudi yang kemudian, Siddur, merupakan sumber pencurahan doa sepenuh hati bagi orang-orang Yahudi sepanjang abad, yang memungkinkan mereka membangun komunikasi paling dalam dengan Allah, dengan kepercayaan yang teguh bahwa Ia menjawab doa mereka. Dalam doa, orang Yahudi sadar akan kehadiran yang Ilahi, mengakui transendensi Allah dan sekaligus percaya bahwa Allah dekat dalam semua macam kedekatan. Ketika seseorang masuk suatu sinagoga dan berdoa, ia dekat dengan Allah karena pemohon seperti orang yang berbicara dekat telinga seorang sahabat.[3]
Kekuatan doa sangatlah luar biasa dampaknya terhadap diri manusia. Jadi tidak lah heran jika tiap umat beragama mempunyai variasi doa yang berbeda. Di antara fungsi doa antara lain sebagai permohonan, pengakuan kelemahan diri manusia, pembuka segala bentuk upacara dan perbuatan, menciptakan dan merubah nilai, memperoleh ketenanan dan kepuasan hati, serta sebagai tanda patuh dan taat melaksanakan perintah Tuhan. Ada beberapa ketentuan mengenai doa, di antaranya adalah :
1)      Tentang tempat berdoa, di mana ada ketentuan yang mengutamakan bahwa doa itu dilakukan di tempat khusus (rumah Tuhan) bagi umat Kristiani, ataupun di tempat mustajabah (rumah Allah) bagi umat Islam.
2)      Objek doa, di mana dalam setiap agama selalu mengajarkan doa yang mulia baik kepada Tuhannya, diri sendiri, keluarga ataupun ditujukan pada yang lainnya.
3)      Waktu berdoa. Tidak ada ikatan yang pasti, kapan saja boleh dilakukan, baik siang maupun malam dan di semua tempat kalau perasaan ingin berdoa.[4]
Selain itu, terdapat pula aspek yang terkandung dalam do’a. Aspek pertama adalah bersyukur pada Tuhan atas segala rahmat yang tidak terhitung jumlahnya, yang dilimpahkan setiap saat pada manusia di mana pada umumnya mereka tidak menyadarinya. Aspek kedua adalah meletakkan kekurangannya di hadapan kesempurnaan Tak Terbatas dari keberadaan Ilahi, dan memohon pengampunan dariNya. Ini menjadikan manusia sadar akan keridlaannya, keterbatasannya, dan karena itu membuat dirinya tidak berdaya di hadapan Tuhan (rendah hati). Aspek ketiga yakni untuk memberi tahu Tuhan akan kesulitan seseorang, permasalahan hidup seseorang, dan meminta pada Tuhan apa yang dia inginkan dan yang dia butuhkan. Aspek keempat yaitu sebagai panggilan bagi pencinta pada kekasihnya. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk yang lebih tinggi, dan untuk bisa berdo’a dengan cara ini, manusia harus bangkit di atas tingkatan hidup biasa. Selama panggilan ini masih sulit bagi umat manusia untuk mencintai manusia lainnya (yang dia lihat), akan lebih sulit lagi untuk mencintai Tuhan (yang tidak pernah dilihatnya). Aspek kelima ialah untuk mengetahui Tuhan, dan dengan cara ini diharapkan dapat memperoleh tarikan yang lebih dekat pada Tuhan, yang merupakan arti sesungguhnya  dari kata “kesatuan” yang berarti kesatuan yang utuh. Hal ini tidak bisa dipelajari karena merupakan kecenderungan yang alamiah, ia adalah daya tarik jiwa pada Tuhan. Yang berarti bahwa kebahagiaan manusia tergantung pada kedekatannya dengan Tuhan. Kelima aspek do’a inilah yang merupakan bentuk ibadah umat beragama. Setiap agama yang diturunkan, pada waktu kapanpun dan di tempat manapun, diberikan tata caranya ketika mau berdo’a.[5]
Tiga macam fenomena agama yang paling penting yakni pemujaan bersama, doa perseorangan dan keyakinan atau kepercayaan. Dua di antara yang tiga itu, pemujaan dan doa dapat disatukan karena dalam pemujaan, doa muncul dan dengan berdoa terjadilah pemujaan. Maka esensi pokok praktek keagamaan adalah doa permohonan. Maka tidak usah diragukan lagi, doa itu memang fenomena agama yang paling penting, baik diartikan terbatas, sebagai sekedar permohonan saja, maupun dipahami dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi: permohonan, menyerah diri kepada Allah dalam bentuk sembahyang dan berkomunikasi dengan Tuhan, baik dalam bentuk ritual komunal atau individual yang jelas kelihatan bisa diamati, maupun dalam lubuk hati seseorang sebagai ritual yang sulit diselami.[6]
B.     Meditasi
Di samping doa yang sebenarnya, ada kegiatan keagamaan seperti doa yang mempergunakan pemikiran verbal maupun tamsil mental yang biasa disebut dengan meditasi. Pada sisi psikologiknya, meditasi diskursif yang disertai gerakan-gerakan tertentu, di mana pemikiran terarah dalam bentuk kata-kata dan berbagai citra dipergunakan untuk menimbulkan perubahan-perubahan mental yang diinginkan pada orang yang melakukannya, bisa dianggap terkait dengan bentuk pendidikan diri pribadi yang disebut otosugesti.[7]
Beberapa latihan persiapan yang berbeda-beda sudah digunakan dalam berbagai budaya. Latihan-latihan itu mencakup penggunaan serangkaian ucapan lisan seperti tindakan pengumpulan kembali, pengaturan posisi tubuh yang sudah ditetapkan, dan berbagai cara pengaturan nafas. Semuanya ini dapat membantu perkembangan sikap mental di mana pikiran terisi oleh gagasan yang tunggal dan bebas dari bermacam-macam pikiran yang tidak relevan. Ini adalah kondisi yang dikenal dalam praktek meditasi di Timur sebagai “kemanunggalan tujuan” (one pointedness). Hal itu tidak diperoleh dengan pengendoran otot yang bahkan cenderung menimbulkan kekacauan pikiran yang bahkan memuncak dalam kondisi tidak sadar atau tertidur. Pengaturan posisi tubuh yang mentradisi dalam meditasi.
Dalam beberbagai agama mempunyai tipe variasi meditasi yang berbeda-beda, di antaranya adalah :
1.      Meditasi Buddha
Satu-satunya doa yang dimiliki orang-orang Theravada adalah meditasi, sedangkan aliran Mahayana menambahkan juga doa-doa permohonan, permintaan, dan penyebutan nama Buddha. Meditasi merupakan pendekatan Buddha yang paling utama mengenai agama. Tujuan tertinggi dari meditasi adalah penerangan. Pada umumnya meditasi dimaksudkan untuk memperkembangkan kesempurnaan spiritual, mengurangi akibat penderitaan, menenangkan pikiran, membuka kebenaran mengenai eksistensi dan hidup bagi pikiran. Keramahan dan simpati bersama dengan sikap yang terang atas fakta kematian dan arti hidup adalah hasil-hasil meditasi.[8]
2.      Meditasi Hindu
Meditasi didefinisikan sebagai arus pengetahuan yang tidak terputus mengenai suatu pokok yang ditahan dalam pikiran. Meditasi merupakan arus pemikiran yang ajek berkenaan dengan objek konsentrasi, sementara upaya konsentrasi terlupakan, meski tetap memberikan suasana hati yang mantap dari kehendak untuk sementara waktu. Tujuan meditasi Hindu ada tiga hal, yaitu :
a.       Menghasilkan rasa kedamaian dan kegembiraan yang tidak terganggu
b.      Menghasilkan perubahan moral dan spiritual dalam diri yang bermeditasi
c.       Memperluas kesadaran seseorang dan menghasilkan dalam diri orang yang bermeditasi itu suatu rasa kesatuan mistik dengan segala sesuatu di dunia.[9]
3.      Meditasi agama Kristen dan Katholik
Otosugesti merupakan tindakan yang dianjurkan dalam buku-buku kebaktian Katholik. Metode yang lebih drastik untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam sikap mental adalah bentuk latihan mental di mana terdapat pengendalian secara terus-menerus terhadap beberapa proses pemikiran verbal dan citra-citra mental. Hasilnya sangat boleh jadi lebih besar daripada semua yang dihasilkan dari sekedar membaca serangkaian ucapan yang bersifat otosugestif karena merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan risiko bahaya lebih besar dan dalam jangka waktu lebih lama. Efektifitasnya bisa juga ditingkatkan dengan menggunakan beberapa kegiatan persiapan secara mental maupun fisik.
Dalam agama Kristen, meditasi yang biasa dilakukan dengan mengurangi pemikiran verbal sampai batas minimum dan perhatian lebih banyak diberikan pada kegiatan visualisasi. Jenis meditasi di mana berbagai citra, bukan kata-kata, merupakan komponen utamanya barangkali bisa disebut “kontemplasi ignatian” (Ignatian Contemplation). Tujuan utama meditasi ini adalah mengarahkan kepada pilihan terhadap apa, yang dalam peristilahan agama Kristen Protestan disebut “konsekrasi” atau berserah diri kepada kehendak Tuhan.[10]
C.     Perbedaan dan Kaitan antara Doa dengan Meditasi
Tidak ada perbedaan yang tajam antara doa dengan meditasi. Meditasi berbeda dengan doa karena ternyata tidak diutamakan untuk diarahkan kepada dunia spiritual melainkan untuk memodifikasi kondisi kesadaran atau pola-pola perilaku orang yang terlibat di dalamnya. Meditasi sedikit banyaknya dapat dibarengi dengan sikap mental orang yang berdoa, sedangkan doa sedikit banyaknya berpengaruh terhadap kesadaran orang yang melakukannya. Ahli psikologi barangkali lebih tertarik dengan efek-efek subyektif doa semacam ini daripada terhadap persoalan mengenai konsekuensi-konsekuensi apakah yang mungkin dihadapi oleh orang yang berdoa itu di dunia spiritual, namun efek-efek subyektif dari doa ini bukan tujuan utamanya, bila dilihat dari sudut pandang orang yang berdoa itu. Oleh karena itu, barangkali ada gunanya untuk dibedakan antara “doa” di mana tujuan utamanya bersifat obyektif dan “meditasi” yang tujuan utamanya bersifat subyektif.[11] Keduanya merupakan kegiatan mental yang jelas ditujukan kepada dunia spiritual mempunyai berbagai akibat juga terhadap kondisi kesadaran orang yang terlibat di dalamnya.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Doa dan meditasi merupakan fenomena dalam setiap agama. Keduanya merupakan hal yang sangat berkaitan, terutama dalam hal mental dan spiritual. Akan tetapi, dalam doa tujuannya bersifat objektif, sedangkan meditasi bersifat subjektif terhadap orang yang melakukannya saja.
B.     Saran
Tentu dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena itu  kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah kita mengetahui tentang doa dan meditasi di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh agar bermanfaat bagi orang lain dan khususnya  untuk diri kita sendiri.





[1] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
  Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal. 58.
[2] Praktik kesempurnaan dalam Buddhisme Mahayana dibagi dalam sepuluh tahap, semuanya menggunakan kata
  “Pulau” (Bhumi). Hal ini mengingatkan kita pada perjalanan hidup sebagai naik perahu menuju sesuatu pulau
  “penerjemah”.
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Cetakan ke 7, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2002, hal.268
[4] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
  Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.86
[5] Hazrat Inayat Khan, Kesatuan Ideal Agama-agama, Cetakan I, Penerbit Putra Langit, April 2003, hal.35
[6] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
  Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.107
[7] Robert H.Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Cetakan ke tiga, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, Februari
   2000, hal.175
[8] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Cetakan ke 7, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2002, hal.252
[9]  Ibid
[10] Robert H.Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Cetakan ke tiga, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, Februari
   2000, hal.181
[11] Ibid, hal.166

makalah sholat

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Shalat merupakan rukun Islam yang ke dua, di mana hal tersebut merupakan sebuah kewajiban yang harus dijalani oleh setiap mukallaf. Kewajiban tersebut bukan semata-mata untuk kepentingan orang lain ataupun Allah yang menjadi sesembahan umat Islam, melainkan untuk diri manusia itu sendiri sebagai bukti kepatuhan seorang hamba yang mengabdi kepada Tuhannya. Rukun Islam yang ke dua ini tidak serta-merta dapat dilakukan dengan mudah, akan tetapi harus memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu sebelum mengerjakannya, agar sholat seorang hamba bisa sah dan diterima oleh Sang Kuasa. Selain itu ada juga tata cara dan keistimewaan tersendiri dalam melaksanakannya. Hal ini merupakan pembahasan penting dalam ilmu Fiqih yang berkaitan dengan ubudiyah, oleh karenanya bab ini biasa terdapat di awal kitab setelah bab taharah yang merupakan salah satu syarat sah untuk melaksanakan shalat.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai shalat, maka dalam makalah ini akan dibahas pula secara lengkap mulai dari definisi shalat, keistimewan, kewajiban, rukun shalat, syarat shalat, azan dan iqamah, waktu melaksanakan shalat fardhu, shalat sunnat, sujud syukur, sujud sahwi dan sujud tilawah, hukum meninggalkan shalat, hukum-hukum imamah serta shalat bagi orang yang memiliki udzur.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian, keistemewaan, dan kewajiban shalat?
2.      Apa yang dimaksud dengan adzan dan iqamat?
3.      Kapan waktu melaksanakan shalat?
4.      Apa saja syarat, rukun, dan hukum meninggalkan shalat?
5.      Apa itu shalat sunnah?
6.      Apa yang dimasud dengan sujud sahwi, sujud tilawah, dan sujud syukur?
7.      Bagaimana hukum-hukum imamah?
8.      Bagaimana shalat oranng yang memiliki udzur?


C.     Tujuan
1.      Mendeskripsikan pengertian, keistimewaan, dan kewajiban dalam shalat.
2.      Menjelaskan tentang adzan dan iqamat.
3.      Mengetahui waktu melasanakan shalat fardlu.
4.      Menjelaskan syarat, rukun dan hukum meninggalkan shalat.
5.      Mendefinisikan tentang shalat sunnat.
6.      Menjelaskan tentang sujud sahwi, sujud syukur dan sujud tilawah.
7.      Mengetahui hukum-hukum imamah dalam shalat.
8.      Menjelaskan tentang shalat orang yang memiliki udzur.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi, Keistimewaan, Dan Kewajiban Shalat
Makna shalat dalam pengertian bahasa Arab ialah “do’a memohon kebajikan dan pujian”. Adapun pengertiannya menurut istilah yaitu : “Ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri salam, dengan syarat-syarat dan gerakan tertentu.” [1] Sedangkan hakikat shalat itu sendiri adalah : “Berhadap hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepadaNya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan kebesaranNya dan kesempurnaan kekuasaanNya.”[2]
Shalat bukanlah suatu pekerjaan yang tiada gunanya, melainkan suatu ibadah yang memiliki banyak keistimewaan di antaranya :
Ø  Shalat adalah fardlu yang mula-mula difardlukan dari ‘ibadat-‘ibadat badaniyah.
Ø  Shalat merupakan tonggak agama Islam.
Ø  Shalat lima waktu difardlukan di malam mi’raj dilangit.
Ø  Shalat ialah akhir wasiat Nabi saw dan nabi-nabi yang lain.
Ø  Shalat yakni permulaan amal yang dihisab di akhirat dan akhir ‘ibadat yang ditinggalkan umat di dunia.
Ø  Shalat yaitu seutama-utama syi’ar Islam dan sekuat-kuat tali perhubungan antara hamba dengan Allah.[3]
Kewajiban dalam melaksanakan ibadah shalat sudah tertera dengan jelas baik dalam firman Allah maupun sunnah Rasulullah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 43 dan surat Al-Ankabut ayat 45:
وأقيمواالصلاة واتواالزكاة واركعوا مع الراكعين. (البقرة: 43)
“ Dan dirikanlah olehmu akan shalat, berikanlah olehmu akan zakat dan ruku’ilah kamu beserta orang-orang yang ruku’.”
وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر. (العنكبوت: 45)
 “ Dan dirikanlah olehmu akan shalat, karena sesungguhnya shalat itu menghalangi kita dari fahsya’ (kejahatan) dan dari munkar (pekerjaan yang buruk keji).”
Adapun hadits yang menjadi dasar diwajibkannya shalat yaitu :
بني الإسلام على خمس : شهادة أن لاإله الا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان.
“Islam didirikan dari lima sendi : mengaku bahwasannya tidak ada Tuhan yang sebenar-benarnya disembah melainkan Allah yang Maha Esa, mengaku bahwasannya Muhammad itu pesuruhNya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, dan berpuasa di bulan Ramadlan.” (HR.Bukhary-Muslim dari Ibnu Umar)[4]
Yang dituntut untuk mengerjakan shalat ialah orang Islam yang telah mukallaf, yakni mereka yang telah baligh (dewasa) dan berakal, sebagaimana sabda Nabi saw :
رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقظ, وعن الصبى حتى يحتلم, وعن المجنون حتى يعقل. (رواه احمد عن عائشة)
Artinya : “Diangkat kalam (dibebaskan dari ketentuan hukum) dari tiga golongan, yaitu dari orang yang sedang tidur sampai dia bangun, dari anak-anak sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai dia sembuh.” (HR.Ahmad dari ‘Aisyah)
Sedangkan seorang anak yang sudah mumayyiz, yaitu anak yang sudah dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, jika mengerjakan shalat maka sudah dipandang sah, meskipun ia belum diwajibkan untuk mengerjakannya, karena pada dasarnya perbuatan hukum anak yang sudah mumayyiz  yang mendatangkan manfaat atau kebaikan hukumnya adalah sah.[5]
B.     Adzan dan Iqamat[6]
Adzan ialah memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dengan lafadz yang telah ditentukan oleh syara’. Adzan dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dan menyerukan untuk melakukan shalat berjama’ah. Selain itu untuk mensyiarkan agama Islam di muka umum.
Sedangkan iqamat yaitu memberitahukan kepada para jama’ah agar siap berdiri untuk shalat dengan lafadz yang ditentukan oleh syara’. Adzan dan iqamat hukumnya sunnat menurut pendapat kebanyakan ulama. Tetapi sebagian ulama’ berpendapat bahwa adzan dan iqamat itu adalah fardlu kifayah, karena keduanya menjadi syiar islam. Adzan dan iqamat hanya disyariatkan untuk shalat fardlu saja, baik  shalat berjamaah maupun munfarid. Adapun untuk shalat-shalat sunnat tidak  disunnatkan adzan dan iqamat. Hanya bagi shalat sunnat kalau dilakukan dengan berjama’ah disyariatkan hendaklah diserukan “ assalatal jami’ah (marilah shalat berjama’ah)”.       
Adapun syarat-syarat adzan dan iqamat antara lain adalah :
1.      Orang yang menyerukan adzan dan iqamat  itu hendaklah orang yang sudah mumayyiz.
2.      Hendaklah dilakukan sesudah masuk waktu shalat, kecuali adzan Subuh boleh dikumandangkan sejak tengah malam.
3.      Orang yang adzan dan iqamat itu hendaklah orang Islam.
4.      Kalimat adzan dan iqamat hendaklah berturut-turut, berarti tidak diselang dengan kalimat yang lain atau diselang dengan berhenti lama.
5.      Tertib, artinya kalimat-kalimatnya teratur.     

C.     Waktu-waktu Melaksanakan Shalat[7]
Shalat fardlu atau yang wajib dilaksanakan oleh tiap-tiap mukallaf (orang yang telah baligh dan  berakal) ialah lima kali dalam sehari semalam.
1.      Shalat Dzuhur
Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengahan langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan panjangnya, selain dari bayang-bayang yang ketika matahari menonggak (tepat di atas ubun-ubun).
2.      Shalat Ashar
Permulaan waktunya yaitu di kala bayangan sesuatu telah sepanjang badannya, yakni mulai dari berakhir waktu Dzuhur dan akhirnya hingga waktu matahari masih bersih belum kuning. Dengan kuningnya matahari, habislah waktu fadhilah dan ikhtiar bagi Ashar itu.
3.      Shalat Magrib
Awalan waktu shalat Magrib dimulai dari sempurna terbenam matahari dan akhir hilangnya syafaq merah (cahaya merah di kaki langit sebelah barat).
4.      Shalat Isya’
Waktunya mulai dari terbenamnya syafaq merah dan akhirnya hingga separuh malam.
5.      Shalat Shubuh
Permulaan waktu Shubuh ialah dari terbit fajar shadiq (garis putih yang melintang dari selatan ke utara di kaki langit sebelah timur) dan akhirnya hingga sempurna terbit matahari.

D.    Syarat-syarat, Rukun, dan Hukum Meninggalkan Shalat
Syarat shalat terdiri atas syarat wajib dan syarat sah yang harus dilakukan sebelum shalat. Syarat-syarat wajib shalat lima waktu ialah :[8]
1.      Islam
Orang yang bukan Islam tidak diwajibkan shalat, ia tidak dituntut mengerjakan shalat di dunia hingga ia masuk Islam. Meskipun ia mengerjakan shalat tetap saja tidak sah, tetapi ia akan mendapat siksaan di akhirat karena ia tidak mengerjakan shalat. Sedangkan ia dapat mengerjakan shalat setelah ia masuk Islam terlebih dahulu. Jika orang kafir masuk Islam, ia tidak diwajibkan mengqadla’ shalat sewaktu ia belum Islam. Begitu juga puasa dan ibadah lainnya. Tetapi amal kebaikannya sebelum Islam tetap akan mendapat ganjaran yang baik.
2.      Suci dari haidl (kotoran) dan nifas
Nifas adalah kotoran yang berkumpul tertahan sewaktu perempuan hamil.
3.      Berakal
4.      Baligh(dewasa)
Tanda-tanda orang yang sudah baligh yaitu mimpi basah bagi laki-laki dan haidl bagi perempuan.
Syarat-syarat sah shalat diantaranya adalah :[9]
1)      Mengetahui telah masuk waktu (mengerjakan shalat setelah diketahui waktunya telah masuk)
2)      Suci dari hadats besar dan hadats kecil.
3)      Suci badan, pakaian, dan tempat yang digunakan shalat dari najis
4)      Menutup aurat
Aurat lelaki adalah anggota badan antara pusar sampai dengan lutut kaki.  Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya selain muka dan kedua telapak tangan.
5)      Menghadap qiblat
Para Ulama’ bersepakat menetapkan bahwa wajib atas orang yang mengerjakan shalat hendaknya menghadap qiblat (al-masjidil haram) sesuai firman Allah swt dan mengingat pula hadits yang diriwayatkan oleh Muslim oleh al-Barra:
صلينا مع النبي ص م ستة عشر شهرا أوسبعة عشر شهرا نحوبيت المقدس ثم صرفنا نحوالكعبة.
“Kami telah bershalat beserta Nabi saw 16 atau 17 tahun lamanya menghadap ke Baitil Maqdis, kemudian kami diperintahkan menghadap kea rah Ka’bah.”
Menghadap qiblat adalah suatu fardlu dalam shalat, tidak digugurkannya melainkan dalam beberapa keadaan:
a.       Dalam keadaan bershalat sunnat bagi orang yang berkendaraan (baik dalam hadlar maupun dalam safar).
b.      Dalam keadaan shalat dengan terpaksa, sedang sakit dan sedang ketakutan.
Rukun-rukun dalam shalat antara lain:[10]
1)      Niat
Asal makna niat adalah “menyengaja” suatu perbuatan. Ini dinamakan ihtijari (kemauan sendiri, bukan dipaksa). Niat pada syara’ (menjadi rukun shalat dan ibadah yang lain) yakni menyengaja suatu perbuatan karena mengikuti perintah Allah supaya diridhaiNya.
2)      Berdiri bagi orang yang kuasa
3)      Takbiratul ihram (membaca takbir)
مفتاح الصلاة الوضوء وتحريمها التكبير وتحليلهاالتسليم. (رواه أبو داود والترمذى)
“Kunci shalat itu wudlu, permulaannya takbir, dan penghabisannya salam.” (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi)
4)      Membaca surat Al-Fatihah
لاتجزئ صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب. (رواه الدارقطنى)
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat Fatihah.” (HR.Daruqutni)
5)      Rukuk serta tuma’ninah
Rukuk bagi orang yang shalat berdiri sekurang-kurangnya, menunduk kira-kira dua telapak tangannya sampai ke lutut, sedangkan yang baiknya ialah betul-betul menunduk sampai datar atau lurus tulang punggung dengan lehernya Sembilan puluh derajat serta meletakkan dua telapak tangan ke lutut. Khusus rukuk orang yang shalatnya duduk sekurang-kurangnya sampai muka sejajar dengan lututnya, sedangkan yang baiknya ialah muka sejajar dengan tempat sujud.
6)      I’tidal serta tuma’ninah (diam sebentar)
ثم ارفع حتى تعتدل قائما.( رواه البخارى ومسلم)
“Kemudian bangkitlah engkau sehingga berdiri tegak untuk I’tidal.” (HR.Bukhari dan Muslim)
7)      Sujud dua kali serta tuma’ninah
Sebagian Ulama’ mengatakan bahwa sujud wajib dilakukan dengan tujuh anggota tubuh yaitu dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung jari kedua kaki.
8)      Duduk di antara dua sujud serta tuma’ninah
ثم اسجد حتى تطمئن ساجدا ثم ارفع حتى تطمئن جالسا ثم اسجد حتى تطمئن ساجدا. (رواه البخارى ومسلم)
“Kemudian sujudlah engkau hingga diam untuk sujud, kemudian bangkitlah engkau hingga diam untuk duduk, kemudian sujudlah engkau hingga diam pula untuk sujud.” (HR.Bukhari dan Muslim)
9)      Duduk akhir
Untuk tasyahud akhir, shalawat atas Nabi saw  dan atas keluarga beliau, keterangan amal Rasulullah saw (beliau selalu duduk ketika membaca tasyahud dan shalawat).
10)  Membaca tasyahud akhir
11)  Membaca shalawat Nabi Muhammad saw
Waktu membacanya adalah ketika duduk akhir sesudah membaca tasyahud akhir. Shalawat atas keluarga beliau menurut Syafi’I tidaklah wajib melainkan sunnat.
12)  Memberi salam yang pertama (ke kanan)
13)  Menertibkan rukun.
Hukum meninggalkan shalat sesuai sabda Rasulullah yaitu sebagai berikut :
بين الرجل وبين الكفر ترك الصلاة.
“Antara seorang Islam dan antara kekafiran ialah meninggalkan shalat.” (HR.Ahmad dan Muslim dari Jabir)
Banyak perbedaan pendapat mengenai hukum bagi orang yang meninggalkan shalat menurut para Ulama, akan tetapi dari perbedaan yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa:
v  Seseorang yang meninggalkan shalat pada suatu waktu dengan karena kemalasan, atau mengerjakan kemaksiatan karena kejahilan dengan merasa penyesalan dan kekecewaan hati serta ingin bertaubat, tiadalah iman orang itu berlawanan dengan iman muthlaq dan tiadalah halnya itu mengeluarkan dirinya dari millah (agama), walaupun berulang-ulang.
v  Seseorang yang terus menerus meninggalkan shalat dengan tidak merasa keberatan apa-apa, tidak merasa penyesalan dan tidak merasa perlu bertaubat, maka orang itu dipandang dan dihukum kafir. Karena meninggalkan shalat yang semacam ini termasuk meniadakan iman.[11]

E.     Shalat Sunnat[12]
Shalat sunnat disebut juga shalat tathawu’, shalat nawafil, shalat mandub dan shalat mustahab yakni shalat yang dianjurkan untuk dikerjakan. Artinya diberi pahala kepada yang mengerjakan dan tidak berdosa bagi yang meninggalkan. Shalat sunnat dibagi menjadi dua, yaitu shalat sunnat muakkadah dan shalat sunnat ghairu muakkadah.
1.      Shalat sunnat muakkadah yaitu shalat sunnat yang selalu dikerjakan atau jarang sekali ditinggalkan oleh Rasulullah saw, seperti halnya shalat witir, shalat hari raya, dan lain-lain.
2.      Shalat sunnat ghairu muakkadah yaitu shalat sunnat yang tidak selalu dikerjakan oleh Rasulullah saw, seperti shalat dhuha, dan shalat-shalat rawatib yang tidak muakkadah.
Semua shalat, termasuk shalat sunnat dilakukan adalah untuk mencari keridhaan atau pahala dari Allah swt. Namun shalat sunnat, jika dilihat dari ada atau tidak adanya sebab-sebab dilakukannya, dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: shalat sunnat yang bersebab dan shalat sunnat yang tidak bersebab.
1.      Shalat sunnat yang bersebab, yaitu shalat sunnat yang dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu, seperti halnya shalat istisqa’ (meminta hujan) dilakukan karena terjadi kemarau panjang, shalat kusuf (gerhana) dilakukan karena terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, dan lain sebagainya.
2.      Shalat sunnat yang tidak bersebab, yaitu shalat sunnat yang dilakukan tidak karena ada sebab-sebab tertentu. Sebagai contoh : shalat witir, shalat dluha, dan lain sebagainya.

F.      Sujud Sahwi, Sujud Tilawah, dan Sujud Syukur[13]
1)      Sujud sahwi
Sujud Sahwi ialah sujud yang dilakukan di akhir shalat untuk menyempurnakan shalat  karena ada yang terlupakan. Sujudnya dilakukan dua kali sama seperti shalat biasa, dan dilakukan sebelum salam. Tiga sebab yang menjadi alasan diperintahkannya sujud sahwi, :
Ø  Sebab kekurangan yaitu, ada sesuatu yang mestinya dikerjakan tetapi tertinggal tidak dilakukan yakni menyangkut kekurangan rukun, kekurangan wajib, kekurangan sunnah hai’at.
Ø  Sebab kelebihan ialah terjadinya kelebihan diluar yang semestinya. Misal dalam kelebihan jumlah rakaat shalat.
Ø  Sebab ragu-ragu yaitu terjadi keragu-raguan dalam rukun-rukun shalat apakah sudah dilakukan atau belum, misalnya dua rakaat atau tiga rakaat.
Fadhilah sujud sahwi adalah menyempurnakan shalat karena ada sesuatu yang terlupakan. Doa sujud sahwi ketika selesai tasyahud, maka ucapkan takbir, bersujudlah dan membaca :
سبحان ربي الأعلى وبحمده سبحان من لاينام ولايسهو سبوح قدوس ربنا ورب الملائكة والروح.
“ Maha suci Tuhanku yang Maha Luhur, dengan memuji kepadaNya. Maha suci Tuhan yang tidak tidur dan tidak lupa, yang disucikan dan dimurnikan, Tuhan kami, Tuhan para malaikat, dan Tuhan malaikat Jibril.”
2)      Sujud Syukur
Sujud syukur adalah sujud sebagai tanda syukur kepada Allah ketika mendapatkan nikmat atau terhindar dari bencana. Sujud syukur dilaksanakan sekali saja, dimulai dengan ucapan takbir dan langsung bersujud, tidak ada salam. Sebaiknya dikerjakan dengan menghadap kiblat dan dalam keaadan suci.
Doa yang dibaca ketika :
·         Sujud syukur terhindar dari musibah
سبحان ربي الأعلى وبحمده سبحانك اللهم ربنا وبحمدك اللهم اغفرلي, اللهم إني أشكرك على أن نجيتني من هذه المصيبة.
“ Maha suci Tuhanku yang maha tinggi, segala puji yang aku panjatkan hanya bagiNya. Maha Suci engkau Ya Allah ya Tuhan kami, segala puji bagiMu. Ya Allah, ampunilah aku. Ya Allah, sesungguhnya aku bersyukur kepadaMu, karena Engkau telah menyelamatkan aku dari musibah ini.”
·         Sujud syukur mendapat anugerah Allah
سبحان ربي الأعلى وبحمده سبحانك اللهم ربنا وبحمدك اللهم اغفرلي, اللهم إني أشكرك على ما انعمت علي من هذه النعمة.
“ Maha suci Tuhanku yang Maha Tinggi, segala puji yang aku panjatkan hanya bagiNya. Maha Suci Engkau Ya Allah ya Tuhan kami, segala puji bagiMu, Ya Allah ampunilah aku. Ya Allah, sesungguhnya aku bersyukur kepadaMu, karena Engkau telah memberikan aku nikmat seperti ini.”
Fadhilah sujud syukur di antaranya Allah membuka hijab antara hamba dan malaikat, mendapat rahmat Allah, mendapat kepantasan masuk dalam surgaNya, serta dicukupkan apa yang menjadi keinginannya.
3)      Sujud Tilawah
Sujud tilawah yaitu sujud yang dilakukan ketika membaca ayat sajdah atau mendengarkan orang yang membaca ayat sajadah. Bagi anda yang tidak dalam keadaan shalat, maka caranya adalah ketika ayat sajdah tersebut sampai di penghujung, anda menghadap qiblat langsung bertakbir dan bersujud. Do’a sujud tilawah adalah:
سبحان ربي الأعلى وبحمده اللهم اغفرلي, اللهم لك سجدت وبك آمنت وعليك توكلت. سجد وجهي لله الذي خلقه وصوره وشق سمعه وبصره بحوله وقوته فتبارك الله احسن الخالقين. اللهم اكتب لي بها أجرا وارفع عني بها وزرا واجعلها لي عندك ذخرا وتقبلها مني كما تقبلتها من عبدك داود عليه السلام.
“ Maha suci Tuhanku yang paling luhur, aku sampaikan pujian kepadaNya. Ya Allah ampuni aku. Ya Allah, kepadamu aku bersujd, kepadaMu aku beriman, dan kepadaMu aku bertawakal. Aku sujudkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakannya, membentuknya, membuka pendengaran, dan penglihatannya, dengan daya dan kekuatanNya. Maha luhur Allah sebaik-baik pencipta. Ya Allah, dengan ayat itu tuliskan untukku pahala, dengan ayat itu hapuskan dosaku, jadikan air itu bagiku di sisiMu menjadi simpanan, terimalah dia dariku sebagaimana engkau menerimanya dari hambaMu Nabi Dawud as.”
Sesudah sujud langsung kembali ke posisi semula tanpa takbir. Namun jika sedang dalam melakukan shalat maka sesudah sujud kita membaca takbir lagi dan kembali berdiri seperti sebelumnya melanjutkan shalat. Sujud ini hanya dilakukan sekali saja.
Fadhilah sujud tilawah adalah dijauhkan diri dari setan. Sujud tilawah dilakukan ketika membaca atau mendengar ayat-ayat al-Quran yang terdapat dalam lima belas tempat, yakni sebagai berikut: Surat al-A’raf ayat 206, Surat ar-Ra’d ayat 15, Surat an-Nahl ayat 49, Surat al-Isra’ 107, Surat Mariyam ayat 5, Surat al-Hajj ayat 18, Surat al-Hajj ayat 77, Surat al-Furqan ayat 60, Surat an-Naml ayat 25, Surat as-Sajadah ayat 15, Surat  Shad ayat 24, Surat Fushilat ayat 37, Surat an-Najm ayat 62, Surat al-Insyiqaq ayat 21, Surat al-Alaq ayat 19.
G.    Hukum-hukum Imamah
Imamah mempunyai keutamaan yang sangat agung, oleh karena pentingnya maka Nabi melakukannya sendiri, demikian pula Khulafaur Rasyidin sesudah beliau. Imam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, jika melaksanakan tugasnya dengan baik ia mendapat pahala yang sangat besar dan ia mendapat pahala seperti orang yang shalat bersamanya. Makmum wajib hukumnya mengikuti imam dalam seluruh shalatnya, berdasarkan sabda Rasulullah yang artinya : “ Imam dijadikan tidak lain untuk diikuti, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah, dan apabila ruku’ maka ruku’lah, dan jika mengatakan : sami’allahu liman hamidah, maka katakan allahumma rabbana lakal hamdu, apabila imam shalat berdiri maka shalatlah berdiri, dan jika shalat duduk , maka shalatlah kalian semua duduk.”(HR.Muttafaqun ‘alaih).[14]
Disyaratkan menjadi imam yaitu orang yang sanggup menuanaikan shalat, mengetahui hukum-hukum shalat, mempunyai akal yang kuat, dan tidak cidera bacaan Al-Qur’annya.[15] Antara imam dan makmum ada empat hal yang harus diperhatikan :
1.      Mendahului yakni makmum mendahului imam dalam bertakbir, ruku’, sujud, salam atau yang lainnya. Perbuatan ini tidak boleh dan barangsiapa yang melakukannya maka hendaklah melakukannya setelah imam, jika tidak maka shalatnya batal.
2.      Menyamai yakni gerakan imam dan makmum bersamaan dalam berpindah dari rukun ke rukun lainnya . perbuatan ini adalah makruh. Adapun menyamai imam ketika takbiratul ihram maka shalatnya tidak sah.
3.      Mengikuti yaitu perbuatan makmum terjadi setelah perbuatan imam dan inilah yang seharusnya dilakukan makmum. Yang demikian ini terlaksanalah bermakmum yang sesuai syari’at.
4.      Ketinggalan yaitu makmum ketinggalan imam hingga masuk ke rukun lain dan ini tidak boleh karena menyalahi berjama’ah.

H.    Shalat Orang yang Memiliki Udzur
Orang yang memiliki udzur (halangan) tetap lah di wajibkan melaksanakan shalat. Di antara orang yang memiliki udzur yaitu orang sakit dan bepergian jauh yang tujuannya bukan untuk maksiat (dalam kendaraan).
1.      Orang sakit wajib juga shalat semampunya selama akal atau ingatannya masih tetap. Kalau tidak mampu berdiri maka ia boleh shalat sambil duduk, kalau tidak mampu duduk boleh berbaring ke sebelah kanan menghadap qiblat, kalau tidak kuat berbaring boleh menelentang dengan ke dua kakinya ke arah qiblat, kalau dapat kepalanya diberi bantal agar mukanya menghadap qiblat, dan kalau masih tidak mampu maka dibolehkan shalat dengan isyarat.[16]
2.      Bagi orang yang sedang dalam kendaraan, seperti kereta api, kapal laut dan lainnya, maka dibolehkan  mengerjakan shalat fardlu menurut cara yang mungkin dapat dilakukan. Diterangkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar, bahwa ketika Rasulullah saw ditanya shalat dalam kapal, beliau menjawab :
صل فيها قائما الا ان تخاف الغرق. (رواه الدرقطنى والحاكم عن ابن عمر)
Artinya : “Shalatlah disitu dengan berdiri, kecuali jika kamu takut akan tenggelam.” (HR.Ad Daruqutni dan Al Hakim dari Ibnu ‘Umar)[17]







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Shalat merupakan salah satu rukun dalam Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap mukallaf dalam keadaan apapun dan kapanpun. Banyak hal yang harus dilakukan sebelum, ketika, maupun sesudah melaksanakan shalat. Yang mana hal tersebut juga menambah nilai kesempurnaan dalam shalat. Selain itu juga terdapat hukum-hukum tertentu yang ada dalam shalat, baik ucapan maupun gerakan. Untuk itu sebagai seoraang muslim yang beriman hendaklah mengetahui secara mendalam tentang shalat, serta dapat mengamalkannya dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang hamba kepada Sang Pencipta.
B.     Saran
Tentu dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena itu  kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah kita mengetahui tentang shalat yang merupakan fiqih ubudiyah di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh agar bermanfaat bagi orang lain dan khususnya  untuk diri kita sendiri.



[1] Rois Mahfud, Al-Islam Pendidikan Agama Islam, Penerbit Erlangga, 2011, hal.25
[2] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cetakan ke-23, PT Bulan Bintang Jakarta, 1994, hal.63
[3] Ibid, hal.54
[4] Ibid, hal.66
[5] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama 
  Islam Jakarta, Ilmu Fiqih Jilid I, Cetakan ke dua, 1983, hal.89
[6] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cetakan ke 39, PT Sinar Baru Algesindo Bandung, 2006, hal.57
[7] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cetakan ke-23, PT Bulan Bintang Jakarta, 1994, hal.120
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cetakan ke 39, PT Sinar Baru Algesindo Bandung, 2006, hal.64
[9]  T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cetakan ke-23, PT Bulan Bintang Jakarta, 1994, hal.98
[10] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cetakan ke 39, PT Sinar Baru Algesindo Bandung, 2006, hal.75
[11] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cetakan ke-23, PT Bulan Bintang Jakarta, 1994, hal.571
[12] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
    Islam Jakarta, Ilmu Fiqih Jilid I, Cetakan ke dua, 1983, hal.87
[13] Saifuddin Aman, Mengungkap Keajaiban Sujud, Cetakan pertama, Penerbit Al-Mawardi Prima, 2009, hal.78
[15] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, Cetakan ke-23, PT Bulan Bintang Jakarta, 1994, hal.328
[16] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cetakan ke 39, PT Sinar Baru Algesindo Bandung, 2006, hal.122
[17] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama 
    Islam Jakarta, Ilmu Fiqih Jilid I, Cetakan ke dua, 1983, hal.189