Senin, 07 Maret 2016

makalah doa dan meditasi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Doa merupakan salah satu fenomena penting bagi setiap agama karena salah satu bentuk penyembahan terhadap Tuhan. Setiap agama mempunyai cara dan tradisi tersendiri dalam menyampaikannya. Tidak hanya pada agama saja, melainkan juga pada orang adat atau primitif yang masih memegang kuat prinsipnya. Mereka juga mempunyai tradisi tersendiri untuk itu. Doa bisa dilakukan dengan sendiri ataupun bersama untuk meminta hajat pada Sang Pencipta atau tujuan lainnya. Munculnya doa merupakan kecenderungan kodrati manusia untuk memberikan ungkapan dari pikiran dan rasa dalam hubungannya dengan yang Ilahi. Selain doa, adapula praktik spiritual yang hamper serupa dengannya yang biasa disebut meditasi. Hal ini juga terkait dengan peribadatan yang berbeda-beda dalam tiap agama. Ada yang tidak mempercayai doa akan tetapi meditasi menjadi sumber ketenangan dan ada pula yang menganggap bahwa doa merupakan rangkaian dari meditasi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan doa?
2.      Apa yang dimaksud dengan meditasi?
3.      Bagaimana perbedaan dan kaitan antara doa dan meditasi?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui makna doa dari perspektif berbagai agama.
2.      Menjelaskan tentang meditasi dari agama yang menerapkannya.
3.      Mendeskripsikan perbedan dan kaitan antara doa dengan meditasi.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    DOA
Doa berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti permohonan, pujian dan seruan. Dalam kitab suci Al-Qur’an, kata doa didapati pada 212 tempat dengan arti yang berbeda-beda. Menurut T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy doa berarti ibadah, permohonan pertolongan dan bantuan, permintaan, percakapan, memanggil dan memuji. Melihat pengertian ini, maka nampaknya doa sama dengan arti liturgia dalam bahasa Yunani yang juga berarti ibadah umum, yaitu seluruh bentuk ibadah umum yang diresmikan oleh berbagai gereja. Ini sama dengan arti prayer dalam kamus Purwadarminta yaitu kebaktian umum. Lebih jauh mereka memahami doa sebagai oratia, petisi dan permohonan. Aslinya kata oratio berarti “pernyataan keinginan-keinginan oleh seseorang kepada Tuhan, sumber segala kebaikan”. Dalam arti yang lebih luas dapat pula berarti sebagai budi yang menghadap Allah atau berbicara dengan Allah. Menurut P.A.Stempvoort, liturgia berarti penyembahan atau penghormatan oleh jamaat dan pelayanan sakramen. Menurut Islam, doa berarti mengucapkan permohonan kepada Allah untuk memperoleh sesuatu hajat atau maksud.[1]
Seumur dengan agama, maka doa adalah unsur yang selalu nampak sebagai fenomena agama, karena dia merupakan satu elemen yang selalu ada dalam agama. Banyak motivasi yang menyebabkan manusia itu mencurahkan isi hatinya yang membanjir dalam kata-kata cinta, terimakasih, penyesalan dan permohonan maaf kepada yang Maha Kuasa, yang selalu waspada dan kasih sayang kepada semua, untuk inilah dengan terbata-bata doa diucapkan dan dengan bersimpuh sujud, semua permohonan dicurahkan.
Berbagai pola doa sebagaimana ditemukan dalam agama-agama yang hidup sampai hari ini memiliki arti structural tipe yang berbeda, berikut di antaranya :
1.      Doa dalam agama-agama kuno
Dalam agama-agama Afrika, banyak orang secara teratur berdoa setiap hari baik dengan berdiri maupun berlutut di depan tempat suci dari roh penjaga atau dewa-dewa yang lain. Pertama-tama Tuhan disapa lebih dahulu secara langsung, sebelum dewa-dewa kecil dan roh-roh lainnya dalam beberapa doa. Meminta pertolongan bukan satu-satunya unsur dalam doa-doa orang Afrika. Ada doa di mana rasa mendalam akan keunggulan, daya, kebebasan Tuhan diungkapkan dengan jelas. Rasa peka akan penyelenggaraan Ilahi juga disuarakan secara eksplisit.
Sedangkan doa yang umum di antara orang-orang Indian Amerika Utara dan orang Polinesia berbentuk permohonan belas kasihan para arwah dan permohonan keberhasilan yang tampak dalam penglihatan-penglihatan. Selain itu doa juga tampak sebagai ucapan terimakasih bagi suku bangsa Iroqui, mengandung perasaan-perasaan agung kepada yang Ilahi bagi suku Arapaho, dan melukiskan permohonan yang rendah hati bagi suku Tahiti.
2.      Doa pada agama-agama Cina
Sejak dari awal, di Cina sudah ada doa-doa yang ditujukan pada dewa-dewa dan roh-roh leluhur dengan harapan untuk mencari dan membangun persekutuan dengan mereka. Dalam ibadah negara dari Konfusianisme, doa menduduki tempat sentral dalam perayaan-perayaan. Doa-doa disiapkan dan disusun dengan cermat, ditulis pada bamboo, sutera atau kertas dan dibaca dalam keheningan, semua pemuja dengan hormat berlutut.
Di hadapan lempengan didirikanlah altar-altar dengan lilin-lilin dan pembakar dupa untuk membuat persembahan-persembahan kepada arwah Konfusius, yang dipercaya mendiami lempengan itu selama upacara untuk ambil bagian dalam ibadah. Konfusius dilahirkan setelah masuknya Buddhisme di China, dan gambar-gambarnya diganti dengan lempeng-lempeng kayu sebagai symbol.
3.      Doa pada agama-agama Jepang
Dalam ibadah domestic agama Shinto, orang-orang Jepang mencuci wajah dan tangan mereka, membasuh mulut mereka, menepuk tangan dua kali di depan kami-dana (semacam altar) dan berlutut dengan kepala menyentuh tanah sambil berdoa. Buddhisme "Pulau Murni”[2] dimulai oleh Honen Shonin untuk menunjukkan jalan keselamatan kepada orang-orang awam biasa yang tidak mampu mencapai keselamatan dengan kekuatan pribadi mereka sendiri, melainkan dengan kekuatan orang lain. Menurut dia, barang siapa memohon kepada Amida Butsu dapat pergi ke Pulau Kemurnian, meskipun mereka adalah pendosa. Agama Honen terdiri dari iman mutlak terhadap daya penyelamatan Buddha yang penuh kasih saying, yang diwujudkan dalam pribadi Amida.
4.      Doa agama Hindu
Doa yang paling terkenal dan paling mujarab menurut agama Hindu adalah Gayatri. Doa ini dipandang orang-orang Hindu sebagai bentuk doa keagamaan yang paling mujarab dan pemujaan dalam rangka pencapaian kebebasan dari lingkaran kelahiran kembali. Dalam agama Hindu, doa mempunyai berbagai jenis tujuan di antaranya sebagai permohonan untuk diri sendiri atau untuk orang lain, ucapan terima kasih, pengakuan dosa, seruan atau himne pujian, dan persekutuan dengan Tuhan. Hal yang paling penting bagi seorang Hindu dalam doa adalah memasuki kahadiran Ilahi, bukan hanya minta pertolongan.
5.      Doa dalam Islam
Al-Qur’an menganjurkan umatnya untuk setia dalam doa karena doa merupakan alat yang paling ampuh untuk memelihara hubungan baik dengan Allah dan menempatkan hidup manusia dalam tujuan yang jelas. Doa muslim umumnya dapat dimasukkan dalam tiga kategori : pujian dan ucapan syukur, penyesalan serta permohonan. Umat Islam diperintahkan untuk berdoa menghadap Mekkah karena merupakan pusat tempat kelahiran Islam. Di samping kesadaran bahwa sesama saudara Muslim berdoa dengan cara itu, ditumbuhkan dalam diri seorang Muslim rasa kesatuan dan solidaritas. Dengan demikian, persaudaraan yang meliputi seluruh dunia diteguhkan.
6.      Doa dalam Yudaisme
Doa merupakan suatu kewajiban yang dibebankan pada setiaporang Yahudi dalam pengertian bahwa ia hanya terikat oleh tugas berdoa sebagai suatu ibadah religious yang dituntut, untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu, tetapi juga ia harus mengabdi Allah secara internal, yakni untuk mencintai Tuhan Allahmu, untuk mengabdi-Nya dengan sepenuh hatimu.
Buku Mazmur dan buku Yahudi yang kemudian, Siddur, merupakan sumber pencurahan doa sepenuh hati bagi orang-orang Yahudi sepanjang abad, yang memungkinkan mereka membangun komunikasi paling dalam dengan Allah, dengan kepercayaan yang teguh bahwa Ia menjawab doa mereka. Dalam doa, orang Yahudi sadar akan kehadiran yang Ilahi, mengakui transendensi Allah dan sekaligus percaya bahwa Allah dekat dalam semua macam kedekatan. Ketika seseorang masuk suatu sinagoga dan berdoa, ia dekat dengan Allah karena pemohon seperti orang yang berbicara dekat telinga seorang sahabat.[3]
Kekuatan doa sangatlah luar biasa dampaknya terhadap diri manusia. Jadi tidak lah heran jika tiap umat beragama mempunyai variasi doa yang berbeda. Di antara fungsi doa antara lain sebagai permohonan, pengakuan kelemahan diri manusia, pembuka segala bentuk upacara dan perbuatan, menciptakan dan merubah nilai, memperoleh ketenanan dan kepuasan hati, serta sebagai tanda patuh dan taat melaksanakan perintah Tuhan. Ada beberapa ketentuan mengenai doa, di antaranya adalah :
1)      Tentang tempat berdoa, di mana ada ketentuan yang mengutamakan bahwa doa itu dilakukan di tempat khusus (rumah Tuhan) bagi umat Kristiani, ataupun di tempat mustajabah (rumah Allah) bagi umat Islam.
2)      Objek doa, di mana dalam setiap agama selalu mengajarkan doa yang mulia baik kepada Tuhannya, diri sendiri, keluarga ataupun ditujukan pada yang lainnya.
3)      Waktu berdoa. Tidak ada ikatan yang pasti, kapan saja boleh dilakukan, baik siang maupun malam dan di semua tempat kalau perasaan ingin berdoa.[4]
Selain itu, terdapat pula aspek yang terkandung dalam do’a. Aspek pertama adalah bersyukur pada Tuhan atas segala rahmat yang tidak terhitung jumlahnya, yang dilimpahkan setiap saat pada manusia di mana pada umumnya mereka tidak menyadarinya. Aspek kedua adalah meletakkan kekurangannya di hadapan kesempurnaan Tak Terbatas dari keberadaan Ilahi, dan memohon pengampunan dariNya. Ini menjadikan manusia sadar akan keridlaannya, keterbatasannya, dan karena itu membuat dirinya tidak berdaya di hadapan Tuhan (rendah hati). Aspek ketiga yakni untuk memberi tahu Tuhan akan kesulitan seseorang, permasalahan hidup seseorang, dan meminta pada Tuhan apa yang dia inginkan dan yang dia butuhkan. Aspek keempat yaitu sebagai panggilan bagi pencinta pada kekasihnya. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk yang lebih tinggi, dan untuk bisa berdo’a dengan cara ini, manusia harus bangkit di atas tingkatan hidup biasa. Selama panggilan ini masih sulit bagi umat manusia untuk mencintai manusia lainnya (yang dia lihat), akan lebih sulit lagi untuk mencintai Tuhan (yang tidak pernah dilihatnya). Aspek kelima ialah untuk mengetahui Tuhan, dan dengan cara ini diharapkan dapat memperoleh tarikan yang lebih dekat pada Tuhan, yang merupakan arti sesungguhnya  dari kata “kesatuan” yang berarti kesatuan yang utuh. Hal ini tidak bisa dipelajari karena merupakan kecenderungan yang alamiah, ia adalah daya tarik jiwa pada Tuhan. Yang berarti bahwa kebahagiaan manusia tergantung pada kedekatannya dengan Tuhan. Kelima aspek do’a inilah yang merupakan bentuk ibadah umat beragama. Setiap agama yang diturunkan, pada waktu kapanpun dan di tempat manapun, diberikan tata caranya ketika mau berdo’a.[5]
Tiga macam fenomena agama yang paling penting yakni pemujaan bersama, doa perseorangan dan keyakinan atau kepercayaan. Dua di antara yang tiga itu, pemujaan dan doa dapat disatukan karena dalam pemujaan, doa muncul dan dengan berdoa terjadilah pemujaan. Maka esensi pokok praktek keagamaan adalah doa permohonan. Maka tidak usah diragukan lagi, doa itu memang fenomena agama yang paling penting, baik diartikan terbatas, sebagai sekedar permohonan saja, maupun dipahami dalam arti yang seluas-luasnya, meliputi: permohonan, menyerah diri kepada Allah dalam bentuk sembahyang dan berkomunikasi dengan Tuhan, baik dalam bentuk ritual komunal atau individual yang jelas kelihatan bisa diamati, maupun dalam lubuk hati seseorang sebagai ritual yang sulit diselami.[6]
B.     Meditasi
Di samping doa yang sebenarnya, ada kegiatan keagamaan seperti doa yang mempergunakan pemikiran verbal maupun tamsil mental yang biasa disebut dengan meditasi. Pada sisi psikologiknya, meditasi diskursif yang disertai gerakan-gerakan tertentu, di mana pemikiran terarah dalam bentuk kata-kata dan berbagai citra dipergunakan untuk menimbulkan perubahan-perubahan mental yang diinginkan pada orang yang melakukannya, bisa dianggap terkait dengan bentuk pendidikan diri pribadi yang disebut otosugesti.[7]
Beberapa latihan persiapan yang berbeda-beda sudah digunakan dalam berbagai budaya. Latihan-latihan itu mencakup penggunaan serangkaian ucapan lisan seperti tindakan pengumpulan kembali, pengaturan posisi tubuh yang sudah ditetapkan, dan berbagai cara pengaturan nafas. Semuanya ini dapat membantu perkembangan sikap mental di mana pikiran terisi oleh gagasan yang tunggal dan bebas dari bermacam-macam pikiran yang tidak relevan. Ini adalah kondisi yang dikenal dalam praktek meditasi di Timur sebagai “kemanunggalan tujuan” (one pointedness). Hal itu tidak diperoleh dengan pengendoran otot yang bahkan cenderung menimbulkan kekacauan pikiran yang bahkan memuncak dalam kondisi tidak sadar atau tertidur. Pengaturan posisi tubuh yang mentradisi dalam meditasi.
Dalam beberbagai agama mempunyai tipe variasi meditasi yang berbeda-beda, di antaranya adalah :
1.      Meditasi Buddha
Satu-satunya doa yang dimiliki orang-orang Theravada adalah meditasi, sedangkan aliran Mahayana menambahkan juga doa-doa permohonan, permintaan, dan penyebutan nama Buddha. Meditasi merupakan pendekatan Buddha yang paling utama mengenai agama. Tujuan tertinggi dari meditasi adalah penerangan. Pada umumnya meditasi dimaksudkan untuk memperkembangkan kesempurnaan spiritual, mengurangi akibat penderitaan, menenangkan pikiran, membuka kebenaran mengenai eksistensi dan hidup bagi pikiran. Keramahan dan simpati bersama dengan sikap yang terang atas fakta kematian dan arti hidup adalah hasil-hasil meditasi.[8]
2.      Meditasi Hindu
Meditasi didefinisikan sebagai arus pengetahuan yang tidak terputus mengenai suatu pokok yang ditahan dalam pikiran. Meditasi merupakan arus pemikiran yang ajek berkenaan dengan objek konsentrasi, sementara upaya konsentrasi terlupakan, meski tetap memberikan suasana hati yang mantap dari kehendak untuk sementara waktu. Tujuan meditasi Hindu ada tiga hal, yaitu :
a.       Menghasilkan rasa kedamaian dan kegembiraan yang tidak terganggu
b.      Menghasilkan perubahan moral dan spiritual dalam diri yang bermeditasi
c.       Memperluas kesadaran seseorang dan menghasilkan dalam diri orang yang bermeditasi itu suatu rasa kesatuan mistik dengan segala sesuatu di dunia.[9]
3.      Meditasi agama Kristen dan Katholik
Otosugesti merupakan tindakan yang dianjurkan dalam buku-buku kebaktian Katholik. Metode yang lebih drastik untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam sikap mental adalah bentuk latihan mental di mana terdapat pengendalian secara terus-menerus terhadap beberapa proses pemikiran verbal dan citra-citra mental. Hasilnya sangat boleh jadi lebih besar daripada semua yang dihasilkan dari sekedar membaca serangkaian ucapan yang bersifat otosugestif karena merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan risiko bahaya lebih besar dan dalam jangka waktu lebih lama. Efektifitasnya bisa juga ditingkatkan dengan menggunakan beberapa kegiatan persiapan secara mental maupun fisik.
Dalam agama Kristen, meditasi yang biasa dilakukan dengan mengurangi pemikiran verbal sampai batas minimum dan perhatian lebih banyak diberikan pada kegiatan visualisasi. Jenis meditasi di mana berbagai citra, bukan kata-kata, merupakan komponen utamanya barangkali bisa disebut “kontemplasi ignatian” (Ignatian Contemplation). Tujuan utama meditasi ini adalah mengarahkan kepada pilihan terhadap apa, yang dalam peristilahan agama Kristen Protestan disebut “konsekrasi” atau berserah diri kepada kehendak Tuhan.[10]
C.     Perbedaan dan Kaitan antara Doa dengan Meditasi
Tidak ada perbedaan yang tajam antara doa dengan meditasi. Meditasi berbeda dengan doa karena ternyata tidak diutamakan untuk diarahkan kepada dunia spiritual melainkan untuk memodifikasi kondisi kesadaran atau pola-pola perilaku orang yang terlibat di dalamnya. Meditasi sedikit banyaknya dapat dibarengi dengan sikap mental orang yang berdoa, sedangkan doa sedikit banyaknya berpengaruh terhadap kesadaran orang yang melakukannya. Ahli psikologi barangkali lebih tertarik dengan efek-efek subyektif doa semacam ini daripada terhadap persoalan mengenai konsekuensi-konsekuensi apakah yang mungkin dihadapi oleh orang yang berdoa itu di dunia spiritual, namun efek-efek subyektif dari doa ini bukan tujuan utamanya, bila dilihat dari sudut pandang orang yang berdoa itu. Oleh karena itu, barangkali ada gunanya untuk dibedakan antara “doa” di mana tujuan utamanya bersifat obyektif dan “meditasi” yang tujuan utamanya bersifat subyektif.[11] Keduanya merupakan kegiatan mental yang jelas ditujukan kepada dunia spiritual mempunyai berbagai akibat juga terhadap kondisi kesadaran orang yang terlibat di dalamnya.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Doa dan meditasi merupakan fenomena dalam setiap agama. Keduanya merupakan hal yang sangat berkaitan, terutama dalam hal mental dan spiritual. Akan tetapi, dalam doa tujuannya bersifat objektif, sedangkan meditasi bersifat subjektif terhadap orang yang melakukannya saja.
B.     Saran
Tentu dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena itu  kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Setelah kita mengetahui tentang doa dan meditasi di atas, kita semakin bertambah pengetahuan, maka dari itu agar pengetahuan kita bermanfaat mari kita sama-sama mengamalkan pengetahuan yang kita peroleh agar bermanfaat bagi orang lain dan khususnya  untuk diri kita sendiri.





[1] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
  Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal. 58.
[2] Praktik kesempurnaan dalam Buddhisme Mahayana dibagi dalam sepuluh tahap, semuanya menggunakan kata
  “Pulau” (Bhumi). Hal ini mengingatkan kita pada perjalanan hidup sebagai naik perahu menuju sesuatu pulau
  “penerjemah”.
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Cetakan ke 7, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2002, hal.268
[4] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
  Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.86
[5] Hazrat Inayat Khan, Kesatuan Ideal Agama-agama, Cetakan I, Penerbit Putra Langit, April 2003, hal.35
[6] Proyek pembinaan prasarana dan sarana PTA/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
  Islam, Fenomenologi Agama, 1983, hal.107
[7] Robert H.Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Cetakan ke tiga, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, Februari
   2000, hal.175
[8] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Cetakan ke 7, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2002, hal.252
[9]  Ibid
[10] Robert H.Thouless, Pengantar Psikologi Agama, Cetakan ke tiga, PT Raja Grafindo Persada Jakarta, Februari
   2000, hal.181
[11] Ibid, hal.166

1 komentar: